Gaung Pemilu 2024 mulai terasa, apalagi setelah mulai muncul nama Capres, baik yang sudah diresmikan maupun belum. Tentu saja, ini menjadi satu fenomena umum dalam proses demokrasi (setidaknya dalam perspektif demokrasi di Indonesia).
Tapi, sebagai seorang warga biasa, saya justru mulai cemas, karena dinamika yang ada terlihat kurang sehat. Situasinya kurang lebih seperti dua pemilu terakhir, mulai ada polarisasi, atau setidaknya mengarah ke sana. Semua ada, dari media sampai kolom komentar dan grup obrolan.
Kalau arahnya menciptakan adu argumentasi, adu gagasan atau hal-hal konstruktif, memang sudah seharusnya, karena untuk itulah demokrasi ada.
Idealnya begitu, sayang, realita kadang lebih suka berkata lain. Ada perbedaan pandangan, tapi buahnya adalah debat kusir, dan munculnya orang-orang bersumbu pendek.
Sudah dua kali pemilu, dan masih sama, lengkap dengan standar ganda dimana-mana. Tentu saja, ini tidak bagus dan toksik, tapi anehnya masih dipertahankan. Keledai saja cuma dua kali masuk ke lubang yang sama.
Itu baru dari aspek perilaku, belum termasuk pilihan sosok yang ada, lengkap dengan plus-minus atau pro-kontra masing-masing.
Jujur saja, meski ada kebebasan untuk memilih atau golput, kualitas figur yang dihadirkan kadang meragukan. Untuk figur caleg misalnya, lebih banyak nama yang "asing" ketimbang familiar.
Celakanya, nama-nama yang familiar di masyarakat pun belum tentu meyakinkan, karena ada yang sudah jelas bermasalah tapi tetap maju, sementara yang relatif tidak bermasalah justru terbebani oleh lingkaran orang-orang problematik dan "deal" politik di sekitarnya.
Apa boleh buat, dari pemilu ke pemilu, pertanyaan yang selalu muncul masih berkutat pada "Who is the lesser evil?". Padahal, idealnya, rakyat berhak menanyakan kepada parpol dan kandidat, "Who is the best option?".
Hasilnya, dari pemerintahan ke pemerintahan, khususnya pasca reformasi, manuver kebijakan pemerintah tidak terlalu lincah, karena koalisi pemerintahan yang ada terlihat gemuk, dan kadang terganggu oleh kegaduhan tak penting.