Setelah Liga 1 musim 2022-2023 usai, dengan PSM Makassar keluar sebagai juara, PSSI tampak mulai mempersiapkan musim baru, salah satunya dengan mewacanakan regulasi penertiban suporter.
Dimana, klub yang suporternya tidak tertib akan mendapat pengurangan poin. Tidak tertib di sini bisa berupa aksi menyalakan flare, melemparkan sesuatu ke lapangan, Â melakukan aksi masuk ke lapangan atau bahkan berbuat anarkis.
Di satu sisi, ini adalah satu kenaikan level tegas dalam konteks sepak bola nasional, karena sebelumnya sanksi untuk tindakan seperti ini masih berupa denda. Meski nilainya cukup besar dan bisa membuat klub kewalahan, jenis sanksi ini ternyata belum benar-benar efektif, karena pelanggaran masih saja terjadi.
Maka, ketika wacana sanksi pengurangan poin muncul, ini menjadi satu ide menarik, Â karena selain bisa menghasilkan "shock therapy" ampuh, buat klub dan suporter, sanksi ini berkaitan dengan satu akar masalah ketertiban suporter, yakni perkara menang atau kalah.
Jika jadi dilaksanakan, aturan ini bisa "memaksa" klub untuk mengedukasi  suporter supaya lebih tertib. Terlepas dari apapun hasil akhir dan kontroversi yang mungkin terjadi di lapangan, semua bisa tetap aman terkendali, karena sudah teredukasi dengan baik.
Dari tujuannya, maksud PSSI ini sudah baik. Ada sedikit niat untuk maju, dan pemahaman pada satu akar masalah di sepak bola nasional.
Tapi, hal baik ini bisa jadi kontraproduktif, jika PSSI tidak ikut membenahi hal-hal pendukung, misalnya kinerja perwasitan dan penataan regulasi keamanan stadion.
Kalau kinerja wasit tidak maksimal, dan benda-benda seperti petasan atau suar masih bisa masuk ke stadion, percuma. Klub malah bisa tekor kalau terlalu banyak kena penalti poin.
Lebih jauh, kalau langkah edukasi dan sosialisasi yang dilakukan tidak diikuti dengan pendataan kelompok suporter se-Indonesia secara menyeluruh, sanksi pengurangan poin malah bisa jadi titik rawan baru.