Pembatalan status Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U20 sempat membuat cemas publik sepak bola nasional. Penyebabnya, FIFA menyebut Indonesia akan disanksi.
Dari pengalaman yang sudah terjadi, kekhawatiran ini cukup bisa dimengerti, karena sanksi FIFA pernah membuat sepak bola nasional mati suri beberapa tahun lalu.
Beruntung, sanksi yang kali ini dijatuhkan FIFA cuma sebatas administrasi, berupa penghentian sementara bantuan dana operasional dari FIFA, setidaknya sampai FIFA mempelajari secara tuntas rencana cetak biru sepak bola nasional.
Ini menjadi satu kabar baik sekaligus peringatan keras buat PSSI dan pihak-pihak terkait, untuk segera berbenah.
Apalagi, setelah Tragedi Kanjuruhan dan batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia, sepak bola nasional belum bisa dibilang baik-baik saja.
Masih ada tradisi tim tamu naik rantis, seperti dialami Persib Bandung kala bertemu Persija, aksi anarkis oknum suporter di laga PSS Sleman vs tuan rumah PSIS Semarang, dan insiden serupa di laga Persis Solo vs Persib Bandung.
Ketiga momen ini terjadi dalam waktu berdekatan, dan dalam kondisi stadion tidak terisi penuh. Satu lagi, ini terjadi di Liga 1 yang merupakan kompetisi kasta tertinggi.
Kalau Erick Thohir, sang Ketum PSSI, tahun depan tidak tergoda maju di Pilpres 2024, seharusnya perbaikan bisa segera dilakukan. FIFA pun tak perlu waktu lama untuk mendapat kesan positif dan mencabut sanksi.
Tapi, mengingat cukup mesranya hubungan sepak bola dan nuansa politis di negeri ini, kartu kuning dari FIFA akan jadi ujian konsistensi buat PSSI, khususnya sang Ketum. Kalau masih serius, rasanya kemajuan di sepak bola nasional bukan mimpi.
Masalahnya, dengan rekam jejak PSSI yang kadang jadi batu loncatan menuju dunia politik, masih ada sedikit kekhawatiran tentang ini. Event sekelas Piala Dunia U-20 saja bisa batal, hanya karena politisasi olahraga.