Di era digital ini, menjadi "reviewer" telah menjadi satu pilihan profesi yang cukup banyak dilirik. Selain karena bisa disesuaikan dengan minat atau hobi, potensi pendapatannya juga besar.
Terdengar mudah dan menjanjikan. Mungkin, inilah yang membuat profesi "reviewer" atau "influencer", apalagi yang bisa merangkap sebagai Youtuber, jadi cita-cita sebagian generasi muda kekinian.
Kalau sudah punya banyak "followers" dan eksposurnya luas, seorang "reviewer" memang akan punya nilai tawar dan reputasinya sendiri, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya.
Ada banyak etika dasar yang harus tetap dipegang. Mulai dari memahami betul karakter produk, menjaga objektivitas penilaian, sampai kewajiban untuk membayar produk yang di-review (kecuali jika biaya ditanggung sponsor).
Etika dasar ini menjadi penting, karena  menentukan kualitas informasi yang akan ditampilkan ke audiens, dan dampaknya terhadap produk maupun pelaku bisnis.
Kalau produknya tidak dipahami betul, apalagi asal dinilai, audiens akan menerima informasi yang tidak tepat. Akibatnya, akan banyak muncul komentar negatif, karena apa yang dilihat tidak sesuai ekspektasi.
Alih-alih untung, pelaku bisnis malah rugi. Viral sekali, sudah itu habis. Tak ada manfaat berkelanjutan. Sudah banyak contoh yang mengalami fenomena ini.
Soal kewajiban untuk membayar produk, ini sebenarnya bergantung pada faktor  etis. Pelaku usaha yang produknya di-review banyak mengandalkan produk itu sebagai sumber penghasilan.
Maka, jika "reviewer" membayar produk yang mereka nilai, seperti pembeli pada umumnya, itu adalah satu cara menghargai paling dasar, dan dengan melakukan itu, penilaian bisa lebih objektif, karena ada pembanding paling dasar: harga dan kualitas.
Kalau dua pembanding itu berada sejajar, seharusnya tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Bukan berarti menganggap remeh popularitas si "reviewer", ini adalah satu cara untuk mendidik masyarakat, termasuk mereka yang ingin jadi "reviewer", untuk tak seenaknya.