Dalam beberapa tahun terakhir, narasi soal lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim jadi satu hal yang banyak dibahas dan jadi perhatian. Maklum, ini menyangkut kemaslahatan bersama.
Tapi, kalau boleh jujur, ada satu hal di sini, yang cukup mengherankan. Bukan soal narasi terkesan menakut-nakuti yang biasa disuarakan, tapi lebih karena sisi egois yang ditampilkan.
Sisi egois itu antara lain terlihat, dari sudut pandang yang kurang memahami situasi secara utuh. Dalam banyak kesempatan, narasi yang dihadirkan cenderung hanya menyalahkan, bukan mengedukasi faktor sebab akibat dan sudut pandang adaptif.
Untuk ukuran hal mendasar seperti lingkungan hidup, sudut pandang "menyalahkan" memang punya tujuan positif, tapi itu masih terlalu dangkal.
Makanya, sekalipun kebiasaan seperti meniadakan kantong plastik di supermarket terus berjalan, kampanye dengan sudut pandang ini masih belum efektif. Ditambah lagi, alternatif solusi yang diberikan masih belum bisa dijangkau semua kalangan, dan masih sebatas menjadi alat bisnis kapitalis.
Padahal, kalau memakai sudut pandang lebih luas, apa yang terjadi sebenarnya adalah satu cara alam beradaptasi dengan keadaan. Jadi, akan terasa aneh jika hal natural semacam ini, malah dianggap sebagai satu kesalahan.
Kalau dirunut lagi, "perubahan iklim" adalah satu hal yang sudah terjadi beberapa kali sejak lama, dan itu memang mengubah banyak aspek dalam kehidupan.
Ada spesies yang punah dan berevolusi, seperti halnya perubahan bentuk daratan. Ada dataran hijau yang menjadi gurun, atau pulau-pulau yang sebelumnya masih tersambung sebagai satu daratan.
Kalau memakai perspektif sempit, perubahan ini mungkin terlihat seperti bencana. Makanya, sebagian narasi yang beredar cenderung menakut-nakuti.
Tapi, kalau mau dilihat lagi secara luas, ini adalah bagian dari siklus yang terus berjalan. Satu siklus punya awal dan akhir, tidak abadi. Yang abadi adalah perjalanan dari satu siklus ke siklus lain.