Bicara soal kiprah PSG dalam sedekade terakhir, ada satu paradoks, yang jadi warna khas mereka. Mereka bagai tanpa lawan di dalam negeri, tapi sering mati langkah di tingkat Eropa.
Sejak dimiliki Nasser Al Khelaifi (Qatar)Les Parisiens sebenarnya cukup rajin mendatangkan pemain bintang. Mulai dari Zlatan Ibrahimovic sampai trio Neymar-Messi-Mbappe.
Nama Neymar bahkan masih tercatat sebagai pemegang rekor transfer termahal dunia, saat diboyong dari Barcelona seharga 222 juta euro tahun 2017. Sebuah transfer yang membuat standar harga transfer pemain berubah total.
Di area teknik, nama-nama top seperti Carlo Ancelotti, Thomas Tuchel dan Mauricio Pochettino juga pernah mengisi pos pelatih. Bagaimana hasilnya?
Di dalam negeri, semua trofi yang bisa diraih sudah diraih, mulai dari Piala Liga, Ligue 1, Coupe de France, sampai Piala Super. Dengan materi tim yang mentereng, membangun dominasi bukan perkara sulit.
Saking dominannya, klub ibukota Prancis ini sukses membuat kompetisi di Negeri Menara Eiffel cenderung monoton, seperti yang terjadi pada Bayern Munich di Bundesliga.
Hanya tim yang benar-benar spesial yang bisa mengalahkan. Itupun masih dengan catatan, segera setelah juara liga, sebagian skuad tim juara  akan digembosi.
Seperti pada saat memboyong Kylian Mbappe dari AS Monaco, tak lama setelah juara liga dan mencapai semifinal Liga Champions (2017) dan Luis Campos (direktur teknik Lille, juara Ligue 1 2020/2021).
Tapi, semua dominasi di dalam negeri ternyata masih tak ada artinya di level Eropa. Tim yang sebenarnya cukup kuat hanya mampu konsisten melewati fase grup.
Begitu menapak fase gugur, kubu Parc Des Princes seperti menanggung beban superberat. Ada tuntutan untuk menang begitu besar, yang justru menghancurkan tim.