Di era kekinian, ada begitu banyak cerita sukses yang muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari buku, film, tips, sampai unggahan di media sosial.
Dari sana juga, muncul banyak sosok "motivator", dengan cerita masing-masing. Dengan penampilan meyakinkan, mereka sempat jadi bintang yang wara-wiri di televisi.
Saking larisnya, saya ingat, pernah ada satu masa dimana hampir setiap televisi nasional punya acara khusus motivator, dengan maksud menginspirasi masyarakat.
Kalau melihat tujuannya, tak ada yang salah di sini, tapi karena makin lama bentuknya makin mirip khotbah, saya merasa sudah waktunya berkata "cukup".
Bukan karena ini tidak berguna, tapi karena dimensinya terlalu sempit. Kegagalan bisa dianggap sebagai satu dosa, sementara kesuksesan hanya dianggap sebagai satu kewajaran, tidak ada yang spesial, walau sebenarnya itu diraih dengan usaha keras.
Sebagai seorang warga gereja, saya lebih memilih mendengarkan khotbah dalam ibadah di gereja, daripada hanya mendengarkan ucapan motivator dengan tarif hingga jutaan rupiah dalam satu sesi.
Pertimbangannya, khotbah selalu menghadirkan sisi reflektif, dan dari sisi legal (seharusnya) ini dijamin pemerintah.
Soal sumbangan, sifatnya sukarela, semampunya, tapi akan sepenuhnya digunakan untuk kegiatan keagamaan atau sosial. Manfaatnya jelas jauh lebih luas dari hanya membayar seorang motivator, yang kita tak tahu persis, apa dia memang benar mulai dari bawah, atau memang sudah punya previlese.
Soal previlese, pasti ada (barang sedikit) "motivator" yang punya, entah itu dari kondisi sosial, keberuntungan. koneksi atau keluarga. Kalau dia "sukses", itu wajar. Ibarat perjalanan, ia bisa sampai tujuan setelah coba-coba naik aneka ragam moda transportasi tanpa kekurangan ongkos.
Inilah bagian yang kadang dihilangkan, demi menambah daya tarik audiens, sekaligus membuat cerita mereka lebih laku dijual.