Judul di atas adalah pertanyaan yang muncul di pikiran saya, ketika membahas soal Aturan Perusahaan. Disadari atau tidak, pekerja (khususnya tingkat menengah ke bawah) memang jadi "bintang utama" di sini.
Tapi, kalau soal wujud dan penerapannya, aturan yang ada umumnya hanya berlaku buat pekerja. Bos tak masuk hitungan, meski secara teknis dia juga layak disebut sebagai karyawan atau pekerja.
Sebagai contoh, di satu tempat magang saya dulu, ada yang menerapkan hukuman denda potong gaji cukup besar jika terlambat masuk kerja. Suatu saat, saya mendadak kedatangan tamu di pagi hari.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terlambat, saya melapor ke bos. Tanpa basa-basi, bos saat itu langsung memberitahu kalau saya kena potong gaji. Nominalnya tidak disebut, tapi langsung kelihatan dari kiriman di tanggal gajian yang berkurang sepuluh persen.
Potongan itu cukup besar buat saya, tapi jadi satu ganjalan, karena pada hari itu, saya justru tidak terlambat. Memang, Â aturan seperti ini bagus untuk menegakkan disiplin, tapi bisa jadi kontraproduktif kalau tak diimbangi dengan objektivitas.
Selain urusan denda, sebenarnya masih banyak fenomena "ganjil" lain yang kadang muncul, seperti menahan ijazah pekerja yang memutuskan mundur atau pindah tempat kerja.
Secara etis, ini sebenarnya tidak pantas, karena bisa menghambat kesempatan kerja, khususnya yang membutuhkan ijazah.
Ada juga budaya kerja yang cenderung mengabaikan batasan-batasan seperti kehidupan pribadi dan waktu kerja wajar sesuai undang-undang yang berlaku.
Fenomena ganjil ini memang menyalahi aturan yang berlaku, tapi jadi satu kebiasaan. Kadang, ini jadi satu aturan tak tertulis, terutama pada tempat kerja yang tidak punya perjanjian kerja tertulis.
Berhubung aturan-aturan itu biasa diberlakukan bukan untuk bos atau atasan, satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menerima. Sekalipun terasa aneh, terutama di awal, menerima adalah bagian dari sikap profesional.