Sebenarnya masih banyak potensi yang bisa dikembangkan, tapi tak banyak yang benar-benar digali. Akibatnya, terjadilah stagnasi cukup lama, dan masih belum terpecahkan hingga sekarang.
Hal lain yang juga bisa jadi masalah dalam jangka panjang antara lain ada pada harga tanah dan properti yang dalam beberapa tahun terakhir naik secara luar biasa. Berbanding terbalik dengan besaran UMP yang masih mengandalkan prinsip "biar lambat asal selamat".
Kalau ketimpangan yang ada tidak segera ditangani secara serius, bisa-bisa punya properti hanya akan jadi "mission impossible", dan generasi milenial kebawah akan sulit punya tempat tinggal sendiri, kecuali menang undian atau dapat warisan.
Jangankan beli rumah, beli kebutuhan sehari-hari saja sudah kerepotan karena kenaikan harga tak pernah absen hadir.
Di sisi lain, catatan dari BPS ini sudah seharusnya jadi masukan untuk perbaikan. Sudah bukan saatnya lagi berpaku pada pemeo "nrimo ing pandum" (menerima dengan ikhlas) jika itu hanya menjadi penyebab tetap langgengnya ketimpangan di masyarakat.
Lagipula, sebagai sebuah Daerah Istimewa, Yogyakarta seharusnya bisa menunjukkan "keistimewaan" mereka. Bukan hanya karena faktor sejarah dan budaya, tapi juga karena mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa kecuali, lewat segenap potensi yang ada.
Selebihnya, tinggal bagaimana itu bisa disadari dan konsisten ditekuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H