Kalau tidak kolot, sepak bola nasional tidak akan dihiasi beragam kebijakan ajaib, masalah, dan fenomena "4L" alias "Lu Lagi Lu Lagi" di kepengurusan PSSI.
Dengan demikian, meski ada harapan dari sosok-sosok profesional di bidangnya, keberadaan kandidat "orang lama" dan politisi juga patut dikhawatirkan. Karena selain "orang lama", PSSI juga cukup lekat dengan keberadaan politisi, yang kadang menjadikannya batu loncatan.
Hal tersebut terekam pada beberapa ketum yang menjabat, semisal Nurdin Halid, selama menjadi Ketum PSSI pada periode 2003-2011, ia sempat merangkap jabatan sebagai anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar periode 1999-2004, dan sempat memimpin PSSI di balik jeruji, karena terjerat kasus korupsi.
Contoh lain yang masih cukup segar ada pada sosok Edy Rahmayadi (Ketum PSSI periode 2016-2019) yang sempat merangkap jabatan sebagai Pangkostrad (2015-2018) dan Gubernur Sumatera Utara (periode 2018-2023).
Jadi, di balik harapan yang ada, masih terselip keraguan karena rekam jejak panjang yang sudah ada sejak puluhan tahun terakhir. Makanya, sepak bola nasional cenderung stagnan, karena hal-hal mendasar seperti kualitas kompetisi dan pembinaan pemain muda tak pernah benar-benar digarap dengan baik.
Kalau mau ada perbaikan, mereka yang ingin menghadirkan pembaruan harus kompak. Butuh lebih dari satu periode untuk menghapus eksistensi "orang-orang lama" yang selama ini jadi akar masalah.
Selama "orang-orang lama" ini masih berwenang, siapapun Ketum PSSI-nya dan sehebat apapun idenya, masalahnya masih akan sama saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H