Menyusul dicabutnya PPKM oleh pemerintah, terjadi satu fenomena pergeseran (kembali) dalam budaya kerja di Indonesia, yakni dari WFH ke WFO. Situasinya dikondisikan menjadi kurang lebih sama dengan sebelum pandemi.
Tapi, ada satu pro-kontra yang muncul terkait kembalinya mode kerja WFO, khususnya di kalangan generasi muda. Pro-kontra ini muncul, setelah ada banyak pekerja yang sudah merasa nyaman dengan WFH, bahkan ada istilah WFA dan "remote work" yang juga cenderung disukai karena sangat fleksibel.
Selama ada dukungan koneksi internet dan teknologi memadai, seharusnya kembali WFO sepenuhnya bukan satu hal mutlak. Masalahnya, sebagian penganut paham "work-life balance" aliran konservatif masih menganggap WFO secara rutin itu mutlak.
Selain untuk koordinasi, ini penting juga untuk sosialisasi di kantor. Sebenarnya tak ada yang salah dari ini, karena etika lamanya memang begitu.
Di sisi lain, kerawanan eksploitasi pada pelaku WFH juga perlu ditangani. Maklum, Â posisi "bekerja di rumah" kadang bisa membuat seseorang bisa didorong untuk bekerja kelewat batas. Maka, disinilah kebijakan kembali ke mode WFO bisa menjadi satu langkah penertiban dan pencegahan eksploitasi kerja.
Masalahnya, perubahan yang datang akibat pandemi telah menghasilkan satu bentuk adaptasi yang menjadi budaya, karena menjadi satu rutinitas selama kurang lebih dua tahun terakhir. Perubahan ini turut membentuk perilaku dan cara pandang, khususnya pada generasi muda.
Otomatis, akan ada "culture shock" kalau harus ada perubahan kembali ke mode lama. Kalaupun harus ada perubahan, harus ada masa transisi atau metode yang lebih akomodatif, misalnya memadukan metode WFO dan WFA, karena ini menuntut perubahan perilaku dan budaya.
Kalau perubahan kembali seutuhnya ke mode lama masih ingin dipaksakan, para pengambil keputusan perlu bersabar, karena mengubah perilaku dan budaya kerja selalu butuh waktu.
Apalagi, ada gap generasi yang perlu dijembatani dengan baik. Jika tidak, hasilnya akan sangat kontraproduktif.
Bagi generasi muda, budaya WFH sudah menghadirkan satu perspektif tentang fleksibilitas. Bisa bekerja di mana saja, dan mengalokasikan dana yang biasa dipakai untuk ongkos jalan untuk keperluan lain.