Menyusul keputusan PSSI menghentikan kompetisi Liga 2 dan 3, plus menghapus degradasi di Liga 1, Arema FC jadi klub paling disorot. Maklum, keputusan ini merupakan satu efek domino dari Tragedi Kanjuruhan.
Seperti diketahui, menyusul Tragedi Kanjuruhan, Tim Singo Edan didenda sebesar 250 juta rupiah dan harus bermain di radius 250 kilometer dari Matang.
Sanksi ini banyak dikritik, karena jatuh ratusan korban tewas dan luka di salah satu tragedi stadion paling mematikan di dunia.
Belakangan, imbas Tragedi Kanjuruhan, muncul "sanksi sosial" buat tim berseragam khas warna biru ini, dalam wujud penolakan demi penolakan di beberapa daerah, untuk menjadikan stadion mereka sebagai kandang sementara.
Sejauh ini, penolakan dari elemen suporter sepak bola lokal di Bantul, Magelang, Semarang dan Bali, sudah membuat pemerintah daerah setempat (selaku pemilik dan pengelola stadion) tidak mengizinkan Arema FC memakai stadion di daerah masing-masing.
Penolakan demi penolakan yang ada umumnya hadir sebagai bentuk empati pada korban Tragedi Kanjuruhan, yang hingga kini masih memperjuangkan keadilan.
Penolakan ini jadi satu wujud nyata suara-suara kritis suporter dan masyarakat, antara lain di media sosial, termasuk dari sebagian Aremania sendiri.
Sebuah bentuk solidaritas, yang (sepertinya) masih belum disadari Arema FC dan PSSI, dalam hal ini PT LIB. Seperti diketahui, akibat beragam penolakan ini, status jadwal laga kandang Arema FC masih belum jelas. PT LIB bahkan berencana membantu Arema mencari kandang sementara.
Tapi, berhubung Arema FC sedang kena "sanksi sosial", sebaiknya PT LIB dan PSSI perlu melihat lagi situasinya secara utuh sebelum membantu mencarikan kandang sementara.
Sekuat apapun pengaruh "orang dalam" di PSSI, rasanya percuma. Tragedi Kanjuruhan sudah menghadirkan persepsi buruk di masyarakat. Terbukti, meski manajemen PSIS Semarang punya sosok Yoyok Sukawi (yang anggota Exco PSSI seperti halnya Iwan Budianto) penolakan dari elemen masyarakat Semarang (termasuk suporter PSIS sendiri) tak kuasa dibendung.