Bicara soal PSSI, ada banyak "keajaiban" dari organisasi satu ini. Mulai dari kualitas organisasi yang konsisten medioker dari masa ke masa, sampai melakukan keputusan tak biasa, termasuk soal kompetisi.
Terbaru, mereka mengambil keputusan tak biasa, untuk menghentikan kompetisi Liga 2 dan Liga 3, tapi tetap melanjutkan kompetisi Liga 1 tanpa degradasi. Keputusan ini diambil dalam rapat Exco PSSI, Kamis (12/1).
Terkait keputusan ini, PSSI memang menyebut, ada beragam faktor yang menjadi pertimbangan. Mulai dari perizinan (yang sempat terkendala akibat Tragedi Kanjuruhan) sampai jadwal yang (dikhawatirkan) berbenturan dengan turnamen Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Seharusnya, masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Tapi, disinilah logika ajaib PSSI muncul.
Sebagai induk sepak bola nasional, mereka seharusnya bertanggung jawab mengatur kekacauan yang ada, bukan malah cuci tangan dengan menghentikan kompetisi dan menghapus degradasi.
Soal keputusan menghapus degradasi, sebenarnya ini pernah diambil PSSI tahun 2006. Kala itu, keputusan ini diambil menyusul pengunduran diri PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta, imbas bencana gempa bumi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Meski sekilas menyalahi nilai kompetitif dalam kompetisi, keputusan ini masih bisa dimengerti, karena penyebabnya murni berasal dari bencana alam yang memakan ribuan korban jiwa maupun luka, beserta kerusakan infrastruktur cukup luas.
Masih ada nilai kemanusiaan dan empati yang tampak di sini. Tidak elok bermain sepak bola, saat ada begitu banyak orang terdampak bencana alam.
Masalahnya, berdasarkan apa yang terjadi pada musim 2022-2023, keputusan PSSI justru menjadi satu potret ketidakbecusan mereka.
Memang, ada ratusan korban di Tragedi Kanjuruhan yang jadi titik awal masalah, tapi penyebabnya bukan berasal dari bencana alam. Ini murni kelalaian manusia.