Kalau cara pandang klasik itu benar-benar diikuti sikap konsekuen, mungkin masih bisa dipahami. Tapi, kalau ternyata ada standar ganda di situ, tentu boleh dipertanyakan.
Misalnya, kalau seseorang menganggap teknologi itu bikin malas, tapi dia sendiri hampir selalu mengandalkan "video call" atau sejenisnya untuk berinteraksi dan melakukan beragam aktivitas. Apa yang dipandang remeh ternyata justru sangat diandalkan.
Apa kata dunia?
Memang, ada gap generasi yang bisa membuat beragam perbedaan muncul, tapi kalau itu sampai mengaburkan sudut pandang objektif, mungkin ada yang salah. Dengan lebarnya gap generasi yang ada, percuma memperdebatkan perbedaan yang ada, karena nyaris tak ada titik temu.
Suka atau tidak, tak bisa dipungkiri kalau ini adalah satu masa yang menuntut banyak aspek untuk lebih adaptif. Bukan lagi sebatas berdebat soal benar atau salah, tapi melihat relevansi dengan dinamika yang ada.
Semakin tidak relevan, seharusnya itu boleh untuk tidak diikuti. Kecuali, kalau cara pandang "kalau ada yang ribet, kenapa harus simpel?" masih membudaya.
Ironisnya, fenomena pergeseran budaya dan pola pikir yang kita lihat sejauh ini menunjukkan, semaju apapun teknologinya, sebagus apapun sistemnya, percuma kalau pola pikirnya tidak ikut menyesuaikan.
Yang sudah maju bisa dipaksa melangkah mundur jauh, sementara yang ingin maju tetap tak bisa maju. Ada adaptasi, tapi ternyata bersifat temporer, karena mitigasi dan keberlanjutan masih belum membudaya.
Semoga semua tetap baik-baik saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H