Memang, soal kualitas, Kamboja bisa dibilang sedang berkembang. Filipina juga menghadirkan kesulitan tersendiri, antara lain karena punya gerbong pemain blasteran dan punya stadion kandang dengan rumput sintetis.
Thailand? Semua tahu, mereka adalah tim tersukses di Piala AFF. Status juara bertahan dan setengah lusin gelar sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Saat melawan Kamboja, Thailand, dan Filipina, Marc Klok dkk memang mampu membuat banyak peluang, tapi gagal menjadi gol. Momen semacam ini bahkan hadir dalam posisi gawang sudah kosong melompong ditinggal kiper.
Terlepas dari persiapan yang kurang ideal, imbas libur kompetisi selama dua bulan akibat Tragedi Kanjuruhan, masalah di lini depan ini memang agak membingungkan.
Ketika memakai striker murni atau "false nine, sebenarnya pemain yang diturunkan sama-sama sudah bisa mencetak gol, yakni Ilija Spasojevic, Ramadan Sananta, dan Dendy Sulistiawan.
Variasi skemanya pun cukup beragam. Mulai dari umpan pendek, umpan panjang, bola mati, sampai lemparan ke dalam, semua ada dan mampu menghasilkan gol.
Masalahnya, kebiasaan terlalu lama membawa bola pada beberapa pemain beberapa kali merusak kesempatan terbuka yang datang. Kalau ego pemain masih terlalu tinggi, ini bisa jadi titik rawan.
Punya kemampuan individu itu bagus, tapi bisa bermain sebagai tim itu jauh lebih bagus.
Dalam sebuah turnamen, ada kalanya sebuah tim berkembang dari pertandingan ke pertandingan. Narasi ini juga muncul untuk Timnas Indonesia di Piala AFF 2022.
Tapi, dengan situasi dan kekurangan yang ada, ditambah eksperimen taktik yang masih dilakukan, rasanya kurang elok kalau memasang prediksi rasa ekspektasi terlalu tinggi, yang sejauh ini membuat para pemain seperti memikul beban berat.
Selain Thailand, ada Vietnam yang jadi lawan kuat lainnya. Itu belum termasuk Malaysia yang belakangan juga sedang berkembang di bawah komando Kim Pan Gon, eks direktur teknik Timnas Korea Selatan. Begitu juga dengan Singapura yang tahun lalu jadi semifinalis.