Inilah atribut yang dalam banyak kesempatan dibutuhkan. Bagi pekerja, kepintaran adalah "koentji". Semakin pintar, semakin bisa bertahan, termasuk pintar dalam hal cuap-cuap menjilat atasan.
Tapi, kepintaran kadang jadi hal paling menjijikkan untuk dihadapi, karena ada banyak label yang dihadirkannya: payah, Â medioker, ahli, aktif, pasif, dan sebagainya.
Entah dapat ide dari mana, kepintaran kadang juga membuat pemiliknya bisa begitu manipulatif. Ada fakta palsu muncul, tapi saat dibantah dengan fakta, langsung beralih ke hal lain.
Ada dalil demi dalil yang selalu bisa jadi pembenaran. Inilah lawan yang paling tak ingin dilawan.
Menjadi medioker yang diam sebenarnya cukup nyaman, tapi, ketika sebuah kepandaian menjadi hal toksik, tidak ada yang bisa diharapkan. Menjadi biasa saja disorot, apalagi menjadi luar biasa, entah dalam hal positif maupun negatif.
Aku ingat, orang-orang pandai ini pernah bilang,
"Kamu hanya seorang medioker pemalas."
"Kamu tidak bodoh, tapi tidak pintar."
Kadang, ini bisa membuat orang jengkel, Â tapi buatku, ini sebuah pengakuan. Aku tak pernah menyebut diri jelek atau bagus, dan begitulah, medioker jadi posisiku dalam banyak hal.