Bicara soal Piala AFF, gengsi dan fungsi menjadi dua kata kunci yang cukup menarik. Soal gengsi, turnamen ini memang jadi ajang sepak bola bergengsi di Asia Tenggara.
Pemenang dari turnamen ini boleh dianggap sebagai tim terkuat di Asia Tenggara, dan berpeluang menaikkan peringkat FIFA. Makanya banyak federasi peserta (termasuk PSSI) berani mematok target juara.
Tak peduli situasinya ideal atau tidak, target juara seperti sudah jadi rutinitas. Animo tinggi dan narasi optimis juga jadi rutin membungkus rapi semua kekurangan yang ada.
Selain gengsi sebagai juara Asia Tenggara, Piala AFF biasanya jadi ajang pelipur lara, khususnya jika kesulitan berbicara banyak di level Asia apalagi dunia. Dengan jadi juara, ada sedikit alasan untuk bangga dan percaya diri melihat level Asia.
Tapi, jujur saja, Piala AFF sebetulnya terasa membosankan, karena polanya relatif bisa ditebak: Thailand masih jadi langganan pesaing juara, kecuali jika bertemu tim yang punya materi pemain bagus.
Singapura era Agu Casmir dan Noh Alam Shah, Vietnam era Le Cong Vinh dan generasi terkini, atau Malaysia asuhan Ong Kim Swee sudah membuktikannya.
Bagaimana dengan Timnas Indonesia?
Sejarah mencatat, sejak edisi pertama, alur ceritanya kurang lebih mirip. Dengan atau tanpa pemain naturalisasi maupun keturunan, hasilnya masih "gagal maning, gagal maning", entah mentok di fase grup, semifinal atau final.
Rekor paling mencolok Tim Garuda hadir, dari catatan enam kali lolos ke final, meski pada akhirnya masih sebatas jadi runner-up paling sering di turnamen. Saking seringnya, suporter fanatik Timnas lain di Asia Tenggara sampai memasang julukan olok-olok "Eternal Runner-up" buat Tim Garuda.
Sebuah julukan yang mungkin bisa jadi pembakar semangat. Itupun kalau Witan Sulaeman dkk bisa konsisten merespon lewat aksi ciamik di lapangan hijau.Â