Timnas Jerman dan kegaduhan soal isu "pelangi" yang mereka hadirkan di fase grup adalah contoh paling sempurna. Hasilnya, jangankan melangkah jauh, lolos fase grup saja tak mampu.
Der Panzer terlalu sibuk mengurus kegaduhan yang mereka hadirkan sendiri ketimbang tampil sebaik mungkin di lapangan.
Ini jelas toksik, dan bukan untuk diulang dalam bentuk apapun. Kalau dampaknya terbukti buruk, Â jangan ditiru. Ini bukan perkara boleh atau tidak, ini soal kepantasan.
Pada kasus Timnas Maroko, sorotan dan bias perspektif berlebihan yang ada tampak mencapai klimaks, tepat setelah mengalahkan Portugal 1-0. Pada titik ini, Achraf Hakimi dkk dibuat seperti sudah mencapai puncak dunia.
Disadari atau tidak, pada titik ini fokus Timnas Maroko seperti sudah tidak seperti sebelumnya. Tak heran, ketika lawan menemukan kontra strategi jitu, mereka tampak kebingungan dan buntu saat harus  dipaksa bermain lebih menyerang.
Situasinya mirip seperti euforia saat Arab Saudi mengalahkan Argentina 2-1 di fase grup. Bedanya, level Maroko jauh lebih tinggi, karena mereka mendapatkan sorotan itu saat lolos ke babak semifinal.
Arab Saudi sendiri akhirnya rontok di fase grup, setelah ditekuk Polandia 2-0 dan dikalahkan Meksiko 2-1.
Tapi, entah kebetulan atau bukan, hasil dan skor yang didapat kedua tim setelah disorot itu sama persis. Di semifinal, gol cepat Theo Hernandez dan gol menit akhir Kolo Muani meruntuhkan mimpi Maroko ke final.
Setelah dibekuk Prancis 2-0, giliran Kroasia mengalahkan mereka 2-1 di perebutan tempat ketiga. Gol Josko Gvardiol dan Mislav Orsic di awal dan akhir babak pertama membuat gol Achraf Dari hanya jadi hadiah hiburan.
Prancis dan Kroasia mampu merusak sistem permainan sang jagoan Afrika Utara  dengan gol-gol di menit kritis, dan membuat tim yang biasanya jago dalam serangan balik jadi kehilangan efektivitas.
Bisa dibilang, The Atlas Lion sudah terlihat "habis" di babak semifinal. Andai fokus mereka masih sebagus saat mengalahkan Spanyol dan Portugal, mungkin ceritanya akan berbeda.