Dalam sejumlah kesempatan, saya justru mendapati, orang dalam keramaian akan langsung tanggap, setiap kali melihat orang berkursi roda, memakai tongkat atau sejenisnya.
Daya tangkap ini jauh lebih cepat daripada melihat orang yang berjalan terpincang-pincang.
Selebihnya, jika harus bertemu keramaian dan kerumunan, saya hanya berani menghadapi itu secara langsung, jika ada yang menemani, atau kerumunan itu terdiri dari orang-orang yang saya kenal.
Belajar dari pengalaman selama ini soal keramaian atau kerumunan, ada satu titik rawan, yang membuat ini bisa berbahaya, yakni situasi panik, khususnya bagi penyandang disabilitas seperti saya.
Disebut berbahaya, karena dalam situasi panik, segalanya jadi tidak terkontrol. Mirip seperti hukum rimba: yang kuat mengalahkan yang lemah.
Realita ini mungkin tidak enak didengar, tapi itulah yang sering terjadi. Bagi mereka yang secara fisik lemah, kerumunan atau keramaian adalah satu alarm peringatan dini untuk melakukan manajemen kerumunan dari diri sendiri.
Sebuah mekanisme yang sebetulnya alamiah, karena pada dasarnya dimiliki manusia, tapi sering terabaikan karena kurang waspada. Seharusnya, kita tidak perlu menunggu ada kejadian buruk untuk  menyadarinya, karena mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H