Tragedi Kanjuruhan, yang disusul dengan Tragedi Itaewon, masing-masing di awal dan akhir bulan Oktober 2022, telah menghadirkan beragam perspektif seputar manajemen kerumunan, dan pandangan
Soal kerumunan sendiri, saya kadang langsung ciut nyali setiap kali melihatnya. Entah itu berupa antrean di tempat umum atau kerumunan di event tertentu, rasa takut itu tidak bisa disembunyikan.
Penyebabnya, dengan kondisi fisik saya yang tidak cukup kuat, seandainya terjadi apa-apa, saya akan berada dalam posisi paling rawan. Jangankan berdesakan, tersenggol atau hilang keseimbangan sedikit saja saya bisa langsung jatuh.
Kerawanan ini semakin sempurna, karena tingkat ketertiban di masyarakat belum optimal. Lalu lintas saja masih semrawut walaupun sudah ada rambu-rambu dan tata tertib.
Jadi, ketika bertemu kerumunan atau keramaian dalam posisi sendiri, rasa takut langsung naik seketika, karena pengalaman kurang mengenakkan sering datang.
Dalam posisi sendirian, tersenggol atau terluka dalam kerumunan kadang terasa seperti tabrak lari. Mereka yang menabrak kadang berlalu begitu saja.
Membantu? Tidak perlu berharap banyak. Dalam keadaan terburu-buru atau panik, mau minta maaf saja sudah sangat bagus. Kalau ada luka atau cedera, terpaksa diobati sendiri.
Berangkat dari pengalaman itu, dalam posisi sendirian, saya sering menyendiri dan memilih tidak terburu-buru.
Seandainya ada fasilitas kursi roda, seperti di stasiun atau bandara, dan itu ditawarkan, saya memilih untuk menggunakan. Di sini, saya sangat mengapresiasi kesigapan petugas, karena mereka mampu memberi rasa aman, khususnya buat mereka yang secara fisik "rentan" di keramaian.
Mungkin, ini terlihat malas, tapi stereotip seperti itu tidak akan menolong kalau saya tersenggol dan terluka. Menariknya, situasi ini sering jadi kesempatan untuk "menerima diri" sambil membangun kesadaran di sekitar.