Dalam beberapa pekan terakhir, kritik kepada PSSI jadi satu hal yang jumlahnya terus bertambah. Penyebabnya, mereka seperti enggan mengakui kesalahan, yang ikut andil dalam terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Ditambah lagi, rekomendasi TGIPF sama sekali tidak digubris. Para petinggi induk sepak bola nasional ini malah asyik bermain "fun football" bersama petinggi FIFA, bahkan sudah ancang-ancang menetapkan jadwal restart kompetisi.
Jadi, bukan kejutan ketika publik justru merespons positif insiden peretasan situs PT LIB, pada hari Minggu (23/10) lalu.
Jelas, ini adalah satu ungkapan kejengkelan publik sepak bola nasional atas tingkah polah PSSI, dan itu sudah terwakilkan dengan baik oleh kata-kata sang hacker.
Terlepas dari silang sengkarut yang ada, imbas Tragedi Kanjuruhan untuk sepak bola nasional ini memang lumayan parah. Kompetisi dihentikan sementara, masalah kelayakan infrastruktur stadion pun terkuak, bersama verifikasi stadion yang ternyata kurang konsisten diterapkan.
Sebenarnya, masalah verifikasi stadion ini masih satu paket dengan masalah kualitas perwasitan, yang memang sudah lama jadi masalah klasik sepak bola nasional.
Sebagai contoh, sudah berulang kali kita melihat interpretasi aturan "offside" yang rancu. Sudah banyak yang mengkritik, tapi nyatanya masih terus ada.
Tapi, satu hal ajaib yang kemudian muncul adalah, permohonan PSSI, dengan klaim atas rekomendasi FIFA, agar pemerintah bersedia membantu untuk pengadaan VAR. Padahal, kualitas infrastruktur stadion dan perwasitan masih belum siap.
Seperti diketahui, VAR membutuhkan kualitas infrastruktur pendukung, termasuk koneksi internet dan listrik yang harus selalu prima. Untuk bisa bekerja maksimal, kualitas wasit dan ofisial pendukung juga harus maksimal.
Maklum, VAR membutuhkan atensi lebih pada detail kecil. Kalau kualitas operatornya bermasalah, VAR hanya akan menambah masalah.