Di era kekinian, kampanye soal aspek lingkungan hidup menjadi satu hal yang umum ditemui. Bentuknya pun semakin lama beragam, walaupun kata kuncinya kurang lebih sama: ramah lingkungan.
Berkat asupan informasi melimpah di dunia digital, banyak hal yang bisa dilakukan. Ada yang mengkampanyekan penggunaan produk nonplastik, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain.
Semuanya punya tujuan positif, demi kelestarian lingkungan. Sayangnya, gaya penyampaian pesan yang digunakan kadang kurang membumi.
Ada yang terlalu fokus menggunakan istilah "keriting", sehingga pesan yang disampaikan kurang bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Kalaupun ada kampanye masif, umurnya tidak panjang, karena tidak terbangun jadi satu kebiasaan.
Tidak ada juga relevansi yang cukup baik, dengan apa yang sehari-hari ditemui audiens. Padahal, semakin kuat relevansinya, semakin "mengena" dan efektif juga pesan yang akan disampaikan.
Ibarat pohon, ia hanya disiram dan diberi pupuk saat ditanam pertama kali, lalu dibiarkan saja tapi, dibiarkan begitu saja. Pohon ini memang tetap tumbuh, tapi layu sebelum berkembang, karena akarnya tidak cukup kuat.
Masalah lain, yang membuat kampanye lingkungan hidup terasa kurang membumi adalah gaya narasi yang cenderung negatif. Ada yang bernada marah, menuding pihak tertentu, atau protes keras seperti seorang aktivis, lengkap dengan iringan musik bernada seram.
Rasanya tentu aneh. Kalau tujuannya memang untuk mengedukasi dan membangun kesadaran, cara-cara seperti ini justru kurang mendidik, kalau tidak boleh dibilang intimidatif.
Kampanye memang sebuah bentuk propaganda, tapi ia jelas bukan film horor atau ajang uji nyali. Kalau memang ingin mengkritik korporasi besar, caranya harus lebih cerdas, kecuali sudah nekat.