Tanpa harus pusing melihat fenomena quiet quitting pun, gaya berekspresi mereka yang cenderung "praktis" sudah bisa dilihat, misalnya dari unggahan mereka di media sosial.
Jadi, jika melihat prosesnya, fenomena yang kita lihat sekarang adalah bagian dari kebiasaan yang sudah mereka bangun sejak dini.
Daripada mengkritik sisi "kemalasan" dari fenomena quiet quitting saya justru lebih suka menyebutnya sebagai sebuah gerakan koreksi, yang kebetulan dilakukan para pekerja, khususnya dari "Generasi Z".
Seiring tumbuhnya fenomena "jam kerja fleksibel" dan "hustle culture", yang disusul munculnya budaya kerja "WFH" dan "WFA" sejak awal masa pandemi, batasan-batasan normatif seperti jam kerja, besaran upah dan uang lembur jadi kabur, seperti kembali ke sistem kerja rodi era kolonial.
Dengan sulitnya kondisi keuangan di masa pandemi, banyak perusahaan yang melakukan penyesuaian, termasuk dalam hal gaji dan tuntutan kerja. Karena tuntutan keadaan, banyak pekerja yang gajinya dipotong cukup banyak, tapi jam dan beban kerjanya justru semakin banyak. Apalagi, ketika batasan tempat dan waktu kerja dibuat sangat fleksibel.
Di sisi lain, masih tidak efektifnya budaya kerja yang eksis saat ini menjadi satu pemicu umum, dari mencuatnya fenomena quiet quitting. Persis seperti kata pepatah "tidak ada asap tanpa ada api".
Dalam banyak kasus, birokrasi yang berbelit dan pendekatan yang terlalu hierarkis di perusahaan gaya lama, jelas "beda alam" dengan cara berpikir praktis ala Gen Z. Makanya, banyak usaha rintisan yang muncul dan sukses menggaet Gen Z, karena mampu memanfaatkan perbedaan ini. Sayang, banyak usaha rintisan yang akhirnya kolaps karena salah urus.
Mereka melihat masalah ini dan coba menerapkan pendekatan berbeda. Hasilnya, muncul budaya kerja fleksibel, yang dalam perkembangannya justru jadi celah untuk mengeksploitasi tenaga kerja.
Atas nama dedikasi, ketiadaan upah lembur dan kerja di hari libur dianggap wajar. Padahal, secara normatif ini melanggar ketentuan undang-undang.
Masalah lain yang tampaknya juga bentrok dengan alam pikiran Gen Z adalah masalah kegiatan yang kurang efisien, seperti acara-acara hangout di luar jam kerja yang terlalu sering.
Dari segi waktu, acara semacam ini jelas kurang efisien, karena mengurangi waktu istirahat. Sementara itu, dari segi biaya, hangout yang terlalu sering bisa bikin isi dompet cepat tekor.