Dalam menulis, membaca kerap disebut sebagai aktivitas kunci yang mendasari.
Ada yang berfungsi sebagai sumber referensi data, ada juga yang menjadi satu sumber inspirasi dalam menulis. Makanya, banyak orang bilang, membaca adalah tingkatan awal sebelum menulis.Â
Sebelum mekarnya teknologi internet, membaca identik dengan media cetak, entah buku, koran atau yang lainnya. Setelah internet datang, bacaan digital ikut memperkaya ragam sumber referensi dalam menulis.
Sekilas, membaca erat dengan apa yang dibaca secara tersurat. Tapi, membaca ternyata masih punya dimensi lebih luas, karena membaca juga hal-hal yang sifatnya tersirat.
Dalam artian, meski tidak tertulis secara langsung, pesan atau informasi tersebut juga ada di sana. Inilah satu bagian unik dari membaca, karena ia bisa membuat orang menemukan "insight" berdasarkan sudut pandang dan gaya masing-masing.
Alhasil, ketika apa yang sudah dibaca itu dijabarkan dalam bentuk tulisan, ada keberagaman sudut pandang dan gaya tulisan yang muncul, sekalipun topik dasarnya sama.
Dalam perjalanannya, membaca sendiri bukan hanya soal melihat rangkaian huruf dan kata, tapi juga merambah ke apa yang dirasakan, baik melalui panca indera atau perasaan.
Kalau ditambah perasaan, total ada enam indera yang bisa kita gunakan untuk "membaca" sebelum menulis. Lima dari tubuh, satu dari batin.
Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan, bisa memantik ide untuk menulis. Inilah satu bagian menarik dari membaca, yang juga jadi bagian menarik dari proses menulis.
Jadi, kalau ingin menulis, tapi tak punya sumber bacaan untuk dibaca, kita bisa melihat ke sekitar. Biarkan cipta, rasa, dan karsa bekerja sama, selebihnya terserah.
Memang, perlu proses untuk mencapai titik ini, dan sumber bacaan biasanya menjadi pegangan awal untuk mengasah. Semakin terasah dan terbiasa, andai tak ada sumber bacaan pun, menulis akan tetap mengalir dan menyenangkan.