Otomatis, ada puluhan parpol yang jadi kontestan pemilu, dan ada ratusan sampai ribuan nama yang harus dipilih.
Dari sekian banyak nama itu, hanya sedikit yang familiar di telinga masyarakat, dan jauh lebih sedikit lagi yang terbukti berkinerja baik.
Inilah yang membuat tingkat efektivitas kinerja wakil rakyat relatif rendah. Suka atau tidak, harus diakui ini adalah satu bukti kalau kuantitas masih jauh di depan kualitas.
Meski setiap tingkat pemerintahan, dari pusat sampai daerah, punya wakil rakyat masing-masing, produktivitas mereka dalam menghasilkan kebijakan atau undang-undang pro-rakyat masih kalah jauh dengan jumlah kasus korupsi, kebijakan yang membebani rakyat, dan hobi tidur atau absen saat sidang.
Di sisi lain, masih berjubelnya jumlah parpol peserta pemilu juga menjadi satu potret tumpang tindih berbagai  kepentingan yang ada, termasuk mereka yang menjadikan parpol sebagai mesin uang.
Makanya, kita banyak melihat, petinggi parpol nyaris tidak ada yang hidup prihatin. Lucunya, semua kepentingan itu bisa dibungkus rapi dalam bungkus luar "kepentingan rakyat".
Kalau memang kepentingan rakyat jadi alasan utama, seharusnya kualitas-lah yang terus ditingkatkan, bukan kuantitas. Masalahnya, belum banyak yang mampu berpikir ke sana.
Malah, banyak orang yang cenderung "bodo amat" dengan parpol dan segala isinya, karena terlalu banyak kebobrokan di sana. Inilah yang lalu dimanfaatkan politisi oportunis, untuk coba melanggengkan nama dan pengaruhnya.
Jadi, wajar kalau di Indonesia ada fenomena "politik dinasti", yang antara lain tumbuh di tingkat daerah, khususnya sejak diberlakukannya otonomi daerah. Celakanya, jumlah dinasti politik yang relatif bersih masih kalah jauh dengan yang bermasalah.
Berangkat dari sinilah, semua permasalahan politik yang kita lihat selama ini ada. Ini memang satu bagian dari proses berdemokrasi yang usianya masih relatif muda di Indonesia.
Tapi, selama kepentingan kelompok atau golongan masih lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat, selama itu juga kuantitas dalam demokrasi masih jauh lebih unggul dari kualitas.
Sebenarnya, rakyat tidak butuh banyak parpol, karena akan semakin membingungkan. Demokrasi seharusnya bukan ajang pembodohan publik.