Judul di atas adalah pendapat saya, seiring munculnya wacana Indonesia keluar AFF. Sebenarnya wacana ini muncul dari desakan warganet suporter Indonesia, menyusul dugaan "main mata" yang dilakukan Vietnam dan Thailand di fase grup Piala AFF U-19 2022.
Akibat insiden ini dan aturan turnamen yang kurang disosialisasikan, Timnas U-19 terpaksa harus tersingkir di fase grup, meski punya poin sama dengan Vietnam dan Thailand, bahkan punya selisih gol lebih baik.
Aroma tidak sedap makin terasa, ketika Thailand dan Vietnam sama-sama tumbang di semifinal. Thailand ditekuk Laos 0-2, sementara Vietnam takluk 0-3 dari Malaysia, tim yang belakangan keluar sebagai juara. Terkesan seperti satu strategi untuk mengikis kecurigaan, meski caranya tetap saja mencurigakan.
PSSI sendiri lalu menyampaikan protes kepada AFF, dan tanpa disangka-sangka menindaklanjuti desakan warganet suporter Indonesia. Padahal, PSSI selama ini dikenal cenderung terkesan "bodo amat" terhadap suara publik sepak bola nasional.
Hasilnya, sudah mulai ada komunikasi antara PSSI dengan EAFF, alias Federasi Sepak Bola Asia Timur, setelah sebelumnya saling melempar kode di media. AFF sendiri merespon dengan merilis jadwal Piala AFF 2022, yang akan berlangsung pada 23 Desember 2022 hingga 15 Januari 2023.
Sebenarnya, ide pindah ke EAFF akan sangat berguna dari segi kompetitif, karena perkembangan sepak bola di Asia Tenggara masih cenderung stagnan. Memang ada sedikit kemajuan, dan kompetisi Piala AFF juga berkontribusi menambah poin di peringkat FIFA.
Masalahnya, ketika naik level ke tingkat Asia, semua capaian di Asia Tenggara seperti mubazir. Tim Garuda kerap keteteran saat bertemu tim-tim Asia Timur atau Timur Tengah. Belum lagi kalau harus bertemu tim-tim Asia Tengah yang umumnya negara pecahan Uni Soviet dan cukup berkembang di level Asia.
Di level Asia, region Asia Tengah punya Uzbekistan dan Kirgistan yang lolos ke Piala Asia 2023. Sebelumnya, Uzbekistan juga sempat menjadi semifinalis Piala Asia 2011 dan perempatfinalis Piala Dunia U-20 2013.
Situasi kurang lebih sama ternyata juga dialami Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, empat tim yang tercatat pernah juara Piala AFF. Memang, Vietnam menjadi yang paling berkembang dalam beberapa tahun terakhir, tapi mereka masih belum bisa menyamai level tim-tim kuat Asia macam Korea Selatan, Jepang, dan Iran.
Ada gap kualitas sangat besar antara AFF dan sub-regional lain, yang terlihat sangat jelas. Buktinya, sekalipun Australia, salah satu tim kuat di zona AFC, tergabung sebagai anggota AFF, mereka tak pernah mengirim tim senior ke turnamen ini. Mengirim tim junior saja tidak rutin.
Sementara itu, jika Timnas Indonesia gabung EAFF, akan ada pengalaman menarik yang siap menunggu. EAFF sendiri berdiri sejak tahun 2002, dan beranggotakan Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, China, Taiwan, Mongolia, Guam, Kepulauan Mariana Utara, Hong Kong dan Makau.
Empat negara yang disebut pertama tergolong tim kuat di Asia, dan pernah tampil di Piala Dunia. Sisi kompetitif juga semakin terasa, karena Hongkong belakangan juga berkembang pesat.
Negara mungil yang sempat jadi koloni Inggris itu bahkan mampu lolos ke Piala Asia 2023. Peringkat FIFA nya pun (145) lebih tinggi dari Indonesia (154), dengan liga domestik yang belakangan cukup berkembang. Liga Hongkong juga sempat disorot, karena menjadi tempat Diego Forlan (legenda Timnas Uruguay dan peraih Golden Ball Piala Dunia 2010) mengakhiri karir bermain.
Boleh dibilang, level pengalaman bertanding yang didapat akan lebih baik ketimbang bertemu Thailand, Vietnam, Malaysia, atau Singapura.
Bonusnya, akan ada pengalaman menarik jika misal bertanding di Mongolia yang beriklim gurun dan bermusim dingin panjang. Atmosfer unik juga akan dijumpai, jika Tim Garuda berkesempatan tampil di Pyongyang, Korea Utara. Seperti diketahui, negara satu ini terkenal sangat tertutup, tapi punya sejarah panjang hubungan diplomatik cukup baik dengan Indonesia.Â
Fisik dan mental pemain Indonesia juga akan lebih teruji, karena kebanyakan negara anggota EAFF adalah negara empat musim. Tidak seperti AFF yang umumnya beriklim tropis.
Dari segi kesempatan bermain di kompetisi level atas Asia, kepindahan ke EAFF juga akan membuka kesempatan lebih banyak buat pemain Indonesia bermain di J-League atau K-League. PSSI pun bisa bekerjasama lebih intensif dengan kedua liga top Asia itu, untuk pengembangan kualitas kompetisi.
Tapi, di luar itu semua, tetap ada konsekuensi yang harus diperhatikan. Mulai dari ongkos akomodasi yang hampir pasti naik, sampai hal-hal lain yang perlu diperhatikan.
Selama PSSI dan pemerintah, dalam hal ini Kemenpora mau mendukung dan konsekuen, seharusnya tidak ada masalah. Satu hal lagi, PSSI dan publik sepak bola nasional perlu belajar untuk lebih realistis andai jadi bergabung di EAFF.
Targetnya bukan lagi juara, tapi berproses dan berprogres, karena level lawan sudah lebih tinggi dari Piala AFF. Ini bagus, karena dengan adanya lawan seperti Korea Selatan dan Jepang, publik sepak bola nasional bisa mulai belajar untuk "mengatur" euforia supaya tidak berlebihan.
Timnas Indonesia memang belum pernah juara Piala AFF di level senior, meski sudah mencatat setengah lusin penampilan di final. Akibatnya, sebagian suporter Thailand dan Vietnam, sampai menyematkan julukan bernada olok-olok "Eternal Runner-up" (Runner-up Abadi) buat Tim Garuda.
Jika tujuannya untuk naik level, pindah ke EAFF bisa jadi satu "kemenangan" tersendiri. Karena, ini akan jadi pembuktian nyata, kalau Indonesia memang benar-benar punya nyali. Tidak seperti Malaysia, Thailand atau Vietnam yang ingin naik level, tapi terlanjur nyaman di AFF.
Tapi, andai benar-benar jadi pindah ke EAFF, PSSI dan pihak terkait juga harus lebih serius membenahi tata kelola sepak bola nasional. Kalau tidak, Timnas Indonesia bisa jadi bulan-bulanan, dan terpaksa harus pindah federasi lagi, lagi-lagi karena desakan warganet suporter Indonesia, sama seperti saat ingin hengkang dari AFF.
Akan memalukan kalau Indonesia "pulang" ke AFF dan jadi lelucon di mata suporter timnas se-ASEAN. Pindah ke SAFF (Asia Selatan)? Selamat bertemu India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, dan kawan-kawan.
Bagaimana kalau pindah dari zona AFC ke OFC (Oseania)?
Bersiaplah bertemu Selandia Baru, Tahiti, Fiji, Papua Nugini dan bertanding di kawasan Pasifik. Satu kesempatan menarik untuk warganet suporter Indonesia belajar geografi.
Pada akhirnya, jadi atau tidaknya Timnas Indonesia pindah ke EAFF, pertanyaannya tinggal apakah PSSI dan suporter mau konsekuen atau tidak.
Kalau tidak konsekuen, jangan salahkan siapapun kalau Timnas Indonesia dicap "terlalu cengeng" atau sebangsanya. Karena, gagal sedikit saja, ujung-ujungnya langsung pindah federasi.
Padahal, situasi Timnas Indonesia jelas tidak serumit Israel, mantan juara Piala Asia 1964 yang terpaksa pindah-pindah konfederasi dari OFC ke UEFA setelah dicoret dari AFC pada tahun 1974, antara lain akibat terkontaminasi faktor politis, yang seharusnya tidak boleh ada di sepak bola.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H