Meraih 11 poin, mencetak 17 gol, hanya kebobolan dua kali, tapi gagal lolos ke babak selanjutnya. Begitulah kiprah Timnas U-19 di Piala AFF U-19 2022.
Meski menang 5-1 atas Myanmar di laga penutup, dan punya selisih gol banyak, hasil imbang 1-1 antara Vietnam Vs Thailand di laga lain membuat Tim Garuda Nusantara masuk kotak.
Penyebabnya, AFF menggunakan aturan head-to-head AFC sebagai acuan, bukan selisih gol, untuk tim dengan torehan poin sama.
Alhasil, dua hasil imbang tanpa gol melawan Vietnam dan Thailand jadi kartu mati, karena, Thailand dan Vietnam mampu mencetak gol. Seperti diketahui, baik Indonesia, Vietnam dan Thailand sama-sama meraih 11 poin.
Mungkin, pemberitaan soal dugaan Thailand dan Vietnam "main mata" akan berseliweran di media Indonesia. Tapi, tetap ada sisi positif dari kegagalan dramatis Timnas U-19.
Dari segi permainan, tim ini memang mampu mencetak banyak gol melawan tim yang lebih lemah. Tapi, saat bertemu lawan sepadan, dalam hal ini Thailand dan Vietnam, mereka masih kesulitan mencetak gol.
Memang, Ronaldo Kwateh dkk mampu mengimbangi, tapi belum mampu mengungguli. Ada skema permainan yang mulai tersusun, tapi masih perlu diperbaiki.
Begitu juga dengan pemilihan pemain. Tim pelatih harus mulai coba blusukan mencari bakat di seluruh Indonesia dan mencari pemain keturunan Indonesia di luar negeri untuk direkomendasikan.
Belum jalannya kompetisi usia muda dan belum terbuktinya kualitas lulusan program "instan" macam Garuda Select (terutama saat menghadapi lawan kuat) membuat blusukan menjadi opsi menarik.
Pada masa lalu, metode ini pernah membuahkan hasil positif di era Indra Sjafri. Selain trofi Piala AFF U-19 2013, babak perempatfinal Piala Asia U-19 2018 juga sukses dicapai.
Satu hal yang perlu disyukuri, masalah ini terekspos di Piala AFF U-19 2022, bukan di kualifikasi Piala Asia U-20 atau Piala Dunia U-20 2023.
Jadi, masih ada kesempatan memperbaiki tim atau mencari pemain yang lebih pas dengan kebutuhan tim.
Bukan bermaksud menghibur diri, tapi jika sudut pandang strategis dipakai, akan lebih fatal jika kelemahan ini terekspos di sana. Garuda Muda bisa jadi bulan-bulanan lawan yang jelas akan lebih kuat.
Di sisi lain, sisi positif juga muncul dari sikap suportif PSSI. Tak seperti biasanya, mereka tidak menyalakan pelatih, bahkan berencana akan mengajukan protes ke AFF, menyusul dugaan "main mata" yang dilakukan Vietnam dan Thailand.
Memang, kubu Vietnam dan Thailand kompak menyebut faktor kelelahan akibat jadwal padat sebagai alibi. Masalahnya, kurang baik juga kalau sikap sportif, yang seharusnya jadi nilai utama olahraga, justru dikorbankan.
Untuk pertama kalinya, PSSI mau satu suara dengan publik sepak bola nasional, yang juga mengecam kejanggalan di sini, dan berpandangan ke depan. Seharusnya, ini bisa dipertahankan.
Sisi positif lainnya, kegagalan di Piala AFF U-19 2022 bisa membuat Timnas U-19 lolos dari beban sorotan berlebih. Jadi, pemain dan tim pelatih bisa lebih fokus melakukan persiapan sambil berbenah.
Kegagalan Timnas U-19 kali ini seharusnya bisa melecut semangat tim, untuk membalasnya di level Asia dan dunia. Kesempatan itu ada, tinggal bagaimana memaksimalkannya.
Jika Timnas Indonesia mampu melampaui catatan prestasi Thailand dan Vietnam di Piala Asia U-20 dan Piala Dunia U-20, sebagus apapun capaian Thailand dan Vietnam di Piala AFF U-19 2022 nanti, itu akan terasa sebagai sebuah kekalahan memalukan. Apalagi, kalau mereka terbukti benar-benar "main sinetron" untuk menyingkirkan Timnas Indonesia U-19 di fase grup.
Lebih baik gagal di Piala AFF U-19, ketimbang jadi juara dan mabuk dalam euforia, tapi gagal lolos ke Piala Asia U-20 dan mati kutu di Piala Dunia U-20.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H