Sebelum dua pemain kidal ini, ada beberapa alumni SKO Ragunan yang jadi atlet terkenal, antara lain Icuk Sugiarto dan Lius Pongoh (Bulutangkis) dan petenis Yayuk Basuki.
Dari rekam jejaknya, kedua sekolah khusus ini bisa digandeng, dan potensi yang ada bisa lebih dimaksimalkan. Itu kalau PSSI tidak hanya menunggangi ekspektasi tinggi publik sepak bola nasional.
Dengan kurikulum yang sudah ada di sana, PSSI praktis hanya tinggal mengintegrasikan dan mengoptimalkan sistem pendukung pembinaan usia muda, khusus untuk mereka yang ingin jadi pesepakbola.
Soal kamp latihan khusus, seharusnya PSSI tinggal mengupayakan satu lokasi spesifik, dengan fasilitas pendukung standar internasional yang diperlukan. Jadi, insiden Timnas Indonesia batal latihan karena belum sewa lapangan tak akan terjadi di masa depan.
Fungsinya kurang lebih seperti kampus KNVB di Zeist milik Timnas Belanda, atau akademi Clairefontaine milik FFF (PSSI-nya Prancis) yang sudah terbukti kualitasnya, dan biasa menjadi lokasi latihan De Oranje dan Les Bleus.
Jadi, bukan kejutan kalau Belanda dan Prancis selalu punya tim kompetitif. Karena, sistem yang sudah ada di federasi sudah terbangun dengan baik, dan ditiru sampai ke level klub.
Masalahnya, karena petinggi PSSI belum juga mau berorientasi jangka panjang, sepertinya, punya kamp latihan sendiri masih sulit. Jangankan punya kamp latihan sendiri, kantor PSSI saja masih numpang di kompleks Gelora Bung Karno.
Inilah yang seharusnya dikritisi warganet suporter Indonesia. Apalagi, PSSI yang terkesan alergi intervensi pemerintah, justru banyak berharap pada pemerintah soal fasilitas kantor dan kamp latihan sendiri buat PSSI dan Tim Garuda.
Alhasil, selama PSSI belum punya kantor milik sendiri, selama itu juga kamp latihan khusus untuk Timnas Indonesia masih akan jadi wacana.
Prestasi? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H