Di Indonesia, ada dua bulan yang biasanya lekat dengan peringatan momen sejarah beraroma politis, yakni September dan Mei. Keduanya menjadi tonggak peralihan masa: Dari Orde Lama ke Orde Baru; dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Kedua momen ini sama-sama menyimpan banyak memori. Ada semangat pembaruan, yang muncul bersama banyak nama yang terpaksa jadi tumbal, entah ditumbalkan jiwanya, hartanya atau karakternya.
Ada harapan yang datang bersama luka, entah fisik atau batin. Harapan selalu menjadi satu bagian paling nikmat, karena ia berkelindan dengan semangat pembaruan.
Tapi, keduanya rutin menghadirkan rasa ngeri, terutama bagi yang masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana tidak, di kedua momen ini, banyak manusia seolah berjiwa monster raksasa; brutal dan tak kenal ampun.
Bagi mereka yang bisa naik ke atas panggung, rasa nikmatnya mungkin tak terlukiskan. Apapun boleh dilakukan semaunya; mencuri atau berbuat kejam sekalipun tak pernah jadi soal, karena semua bisa diatur.
Tapi, bagi mereka yang jadi tumbal atau mengalami luka, ini adalah rasa pahit yang pekat. Dia selalu datang rutin, walau sebenarnya tak pernah diharapkan.
Ada yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa merelakan, tapi ada yang dipaksa membawa ini seumur hidupnya.
Ini jadi satu hukuman yang terlalu mengerikan, karena mereka sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak mencuri, tapi dijarah dirampas hak miliknya, dan dihukum mendapat luka yang tak bisa ditawar.
Ini terlalu tidak adil, karena di saat bersamaan, para penyamun masih bisa hidup mewah di atas penderitaan rakyat. Andai toh ditangkap aparat, jerat hukumnya masih bisa dapat diskon besar.
Di bulan Mei dan September, ada begitu banyak memori berseliweran, seperti gerombolan ikan di laut lepas. Kedua bulan ini selalu menjadi satu portal waktu, yang kadang terlihat hebat seperti di film-film Hollywood, meski kadang juga terlihat menyeramkan, seperti malam Satu Suro.