Maka, alih-alih mempersoalkan kebiasaan baru ini, gereja perlu lebih akomodatif. Maklum ada perbedaan yang hadir, dan perlu diperlakukan sama baiknya.
Apalagi, perbedaan yang ada hadir dari beragam generasi, lengkap dengan kepelbagaiannya, termasuk soal pola pikir. Tiap generasi pasti punya sudut pandang dan pertimbangan sendiri.
Misalnya, soal bagaimana mengikuti rangkaian ritus dalam liturgi. Bagi sebagian generasi senior, keruntutan pada liturgi masih jadi harga mati. Jadi, bukan hal aneh jika sikap seperti di gereja masih diperlihatkan, termasuk jika mereka terlihat berpenampilan klimis, sekalipun beribadah di rumah.
Hal berbeda justru terlihat dari generasi muda. Mereka cenderung lebih praktis. Mulai dari penampilan yang santai, sampai titik fokus yang sepenuhnya tertuju pada bagian khotbah.
Memang tak semuanya begitu, tapi kecenderungan ini muncul, karena liturgi yang ada memang dirancang untuk ibadah "on-site", bukan virtual. Akibatnya, bagian yang dinilai kurang pas dengan ibadah di rumah cenderung diabaikan.
Apalagi, kalau di sekitar rumah ada beberapa tetangga yang beda keyakinan. Jadi, memilih tidak berisik adalah pilihan logis. Bukankah toleransi itu perlu?
Ini baru satu-dua hal. Belum yang lain.
Kedengarannya rumit, tapi sikap adaptif dan akomodatif menjadi aspek kunci, yang bisa membantu gereja, khususnya di Indonesia, dalam beradaptasi dengan gaya hidup setelah pandemi.
Menariknya, disadari atau tidak, fenomena ini justru memperjelas pemeo "gereja bukan gedungnya saja, gereja adalah orangnya". Bukan dari apa yang bisa dilihat dari luar saja, tapi seberapa luas jangkauannya, seberapa luas dampak yang bisa dirasakan.
Mungkin, segala pergeseran yang ada karena pandemi memang menjadi jalan buat gereja, untuk berkembang karena "dipaksa" oleh keadaan dan kemajuan teknologi. Selebihnya, tinggal apakah jangkauan yang luas ini juga mampu menghasilkan dampak atau tidak.
Sebuah tantangan yang akan menjadi PR besar buat gereja dan warganya, supaya bisa terus mengikuti perkembangan zaman.