Dengan posisi Indonesia sebagai negara non-Uni Eropa, yang tidak mengenal dwikewarganegaraan, ini akan jadi satu alasan kuat buat kandidat pemain keturunan untuk menolak kesempatan bermain di Timnas Indonesia.
Berangkat dari masalah ini, seharusnya PSSI dan Shin Tae-yong perlu lebih adaptif dalam hal kriteria standar kualitas pemain keturunan.
Dalam artian, standar kualitasnya di atas rata-rata pemain lokal, tapi tidak harus dari liga top Eropa, khususnya liga dengan kebijakan pemain asing non-Uni Eropa ketat.
Dengan begitu, si pemain masih bisa bermain di Eropa dan bisa membawa manfaat teknis positif buat Tim Garuda.
Untuk soal lain yakni usia, sudah ada kemajuan, karena rentang usia pemain yang sudah didekati relatif muda, maksimal 25 tahun. Kecuali pada kasus Jordi Amat, yang pada tahun ini berusia 30 tahun.
Tapi, satu hal yang perlu dipastikan adalah, setelah dinaturalisasi, si pemain harus dijamin, untuk tidak langsung bermain di liga Indonesia dalam waktu dekat, kecuali jika liga Indonesia sudah mengalami peningkatan kualitas secara drastis.
Ini menjadi satu poin krusial, karena dalam banyak kasus, pemain naturalisasi, yang sudah lama tinggal dan bermain di Indonesia tidak banyak yang bisa mempertahankan level kualitasnya, sama seperti saat pertama kali datang.
Akibatnya, kualitas si pemain lama-lama menurun, seperti jadi bonsai, karena terbiasa menjadi pohon besar di pot kecil. Kalau sudah begini, upaya naturalisasi jadi percuma, karena pengaruhnya justru tidak sesuai harapan.
Buat apa dinaturalisasi, kalau kualitasnya justru dibuat menurun? Benar-benar kurang kerjaan.
Kepastian ini menjadi kunci, terutama jika kebijakan naturalisasi pemain keturunan ini masih akan dilanjutkan, karena bisa menjadi nilai plus di mata para pemain keturunan Indonesia.
Terlepas dari adanya pertimbangan personal dari si pemain, kepastian untuk bisa tetap bermain di kompetisi berkualitas tetap tak boleh dikesampingkan.