Bicara soal "money game", banyak orang yang punya cerita dengannya. Ada yang senang, ada juga yang sedih, dengan yang disebut terakhir biasa menjadi satu warna dominan.
Tapi, pengalaman saya soal "permainan" satu ini adalah cerita soal penolakan demi penolakan. Bukan ditolak, tapi menolak.
Oke, awalnya saya memang sudah mendengar selentingan soal ini semasa SMA di Yogyakarta, tapi karena harus fokus belajar, saya memilih untuk pura-pura bodoh.
Toh, waktu menunjukkan, rata-rata perjalanan mereka hanya berumur pendek, sekitar hitungan bulan.
Dalam perjalanannya, money game akhirnya benar-benar saya temui pada tahun pertama kuliah, tepatnya di awal tahun 2012. Waktu itu, ada ajakan dari seorang teman untuk ikut seminar bisnis gratis.
Kebetulan, waktu itu memang ada kewajiban untuk mengumpulkan poin dari acara seminar, sebagai satu syarat yudisium. Berhubung ini gratis, saya mencoba ikut.
Apes, acara yang disebut "seminar" itu ternyata hanya ajang rekrutmen sales produk obat-obatan "herbal", dengan sistem pemasaran berjenjang alias MLM.
Gelagatnya makin tak beres, karena bukan penjualan produk yang lebih ditekankan, tapi rekrutmen anggota baru, dengan skema berbentuk mirip Piramida. Satu ciri khas "money game".
Ciri khas lain yang muncul adalah, ada iming-iming jumlah pemasukan yang tidak biasa, kalau tidak boleh dibilang tidak wajar.
Yang paling fatal, aspek legalitas, termasuk perizinan masih sebatas "baru diurus" tanpa tahu kapan beresnya. Sebuah bahasa diplomatis dari "Kami tidak peduli", karena ternyata memang tidak pernah diurus.