Bicara soal Timnas dari benua Afrika, ada satu fenomena yang cukup jamak, yakni gonta-ganti pelatih dalam jangka pendek.
Fenomena ini cukup sering terjadi, karena turnamen tingkat benua di sana dihelat tiap dua tahun sekali. Jadi, wajar kalau orientasinya cenderung jangka pendek: selesai turnamen, langsung ganti pelatih, kecuali kalau jadi juara.
Dari segi tekanan untuk berprestasi, rata-rata tim nasional di Benua Hitam punya tekanan sangat besar, karena hampir setiap tim di sana punya pemain yang bermain di luar negeri, dengan kualitas di atas rata-rata pemain liga lokal.
Tekanan ini semakin lengkap, karena ada harapan besar publik sepak bola nasional di tiap negara. Pilihannya simpel: menang atau pergi.
Karena orientasi jangka pendek inilah, tak banyak tim Afrika yang mampu konsisten berprestasi dalam waktu lama. Kalaupun bisa konsisten, itu lebih karena faktor keberadaan pemain bintang, bukan karena ada sistem atau filosofi permainan yang paten.
Sebagai contoh, saat Timnas Ghana dan Pantai Gading punya generasi spesial yang dimotori Michael Essien dan Didier Drogba, mereka biasa melaju jauh di Piala Afrika dan lolos ke Piala Dunia.
Begitu masa edar generasi Essien dan Drogba selesai, lunturlah kehebatan kedua tim.
Tapi, sebuah anomali muncul di Timnas Senegal. Tim yang baru saja meraih trofi Piala Afrika 2021 ini terbilang awet bersama Aliou Cisse, yang sudah melatih Tim Singa Teranga sejak tahun 2015.
Sosok kelahiran tahun 1976 ini menjadi satu anomali, karena merupakan pelatih lokal. Seperti diketahui, kebanyakan tim nasional di Afrika banyak memakai pelatih asing.
Meski begitu, rekam jejaknya tak sembarangan. Semasa bermain, sosok bergaya rambut ala Bob Marley ini adalah kapten Timnas Senegal kala menembus final Piala Afrika dan perempat final Piala Dunia 2002, di bawah arahan Bruno Metsu (1954-2013), pelatih asal Prancis.