Dalam beberapa hari terakhir, klub-klub di Liga 1 secara berurutan melaporkan kasus Omicron. Meski hanya disebut jumlah pemain (tanpa menyebut nama si pemain) masalah ini telah menghadirkan situasi rumit.
Disebut rumit, karena kebanyakan tim dipaksa bermain dengan jumlah pemain terbatas.
Opsinya bisa jadi semakin terbatas, jika ada tim yang kehilangan pemain karena cedera, seperti pada kasus TIRA Persikabo, atau dipanggil Timnas seperti pada kasus Persebaya Surabaya.
Dengan padatnya jadwal pertandingan, ini akan membuat tim sulit tampil maksimal. Andai manajemen klub Liga 1 bisa lebih pengertian, seharusnya mereka tak akan buru-buru mengganti pelatih, karena situasinya memang gawat darurat akibat lonjakan kasus Omicron di Indonesia.
Di satu sisi, jadwal pertandingan Liga 1 yang padat memang merupakan satu cara PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk menormalkan jadwal kompetisi musim depan. Maklum, kompetisi sempat vakum setahun lebih akibat pandemi.
Ini merupakan satu tindakan umum, karena banyak kompetisi sepak bola di dunia juga memadatkan jadwal pertandingan, sebagai sebuah langkah normalisasi.
Targetnya jelas, setelah normalisasi selesai, diharapkan jadwal sudah kembali normal. Dengan catatan, para pemain dan pelatih tertib dalam menjalankan prokes, antara lain mematuhi aturan "bubble", seperti yang diterapkan di negara-negara maju.
Masalahnya, ledakan kasus Omicron di klub-klub Indonesia justru menunjukkan, tingkat ketertiban pemain dan efektivitas aturan yang ada masih belum ideal.
Terbukti, tingginya kasus Omicron kebanyakan datang setelah mereka piknik ke tempat wisata di Bali, yang notabene merupakan lokasi dihelatnya seri kompetisi Liga 1.
Keputusan untuk piknik memang bisa dimengerti, karena kompetisi dan program latihan sedang jeda.