Sejak kurang lebih dua tahun terakhir, pandemi virus Corona sudah hadir mewarnai dinamika kehidupan sehari-hari, baik di Indonesia maupun dunia.
Jika diibaratkan sebagai sebuah siklus, banyak negara di dunia mengalami siklus seperti wahana roller coaster, naik turun dengan titik akhir yang jelas posisinya. Di sini, kewaspadaan dan kesadaran kolektif masih dipegang erat.
Saat situasi memburuk, ada aturan tegas yang benar-benar ditaati secara sadar. Kepanikan ada, tapi tidak sampai menghasilkan situasi gawat.
Saat situasi membaik, sikap hati-hati masih dikedepankan. Makanya, tidak sampai ada euforia gila-gilaan, apalagi rasa jumawa.
Masalahnya, sejak awal kemunculannya, siklus penanganan pandemi di Indonesia tidak seperti itu. Â Angka kasusnya memang naik turun seperti jet coaster, tapi tidak dengan tingkat kesadaran dan kewaspadaan.
Dari awal, sikap terkesan meremehkan dan denial menjadi warna dominan, bahkan saat kasus baru sudah terkonfirmasi.
Situasinya tampak di-set seperti tidak ada masalah serius, dan baru diseriusi setelah ada peningkatan besar-besaran. Itupun masih dengan catatan, aturan yang ada dan prakteknya kadang tidak sinkron.
Ditambah lagi, di saat vaksinasi dosis ketiga mulai diadakan, ternyata didapati, angka vaksinasi dua dosis masih belum merata di sejumlah daerah.
Ngerinya, meskipun sebenarnya ada aturan, belum ada kesadaran dan kewaspadaan kolektif yang baik. Alhasil, aturan yang ada jadi tidak efektif.
Saat situasi mulai memburuk, kepanikan ada di mana-mana. Rumah Sakit penuh, tabung oksigen habis, susu kaleng pun jadi rebutan.Â