Sejak Piala AFF 2020 lalu, pembicaraan soal masalah di lini depan, khususnya pos penyerang tengah Timnas Indonesia terus mengemuka. Banyak yang menyebut, Timnas Indonesia belum punya lagi sosok penyerang tengah andal sepeninggal Boaz Solossa.
Dari sembilan pertandingan terakhir, termasuk pertandingan melawan Timor Leste, 27 Januari 2022 lalu, dari 24 gol yang sudah dicetak Evan Dimas dkk, hanya dua gol tercipta dari pos penyerang tengah, yakni lewat kontribusi Ezra Walian.
Sisanya, hanya satu assist hadir dari Ronaldo Kwateh, selebihnya,kering. Tak heran, kinerja Tim Garuda dianggap masih belum meyakinkan di pos ujung tombak.
Jika melihat dari asumsi yang muncul dari publik sepak bola nasional, maka kita bisa melihat, tipe penyerang yang diharapkan adalah tipe pemain nomor 9 murni yang oportunis alias "finisher" seperti Robert Lewandowski.
Masalahnya, dalam tren sepak bola kekinian, keberadaan pemain jenis ini mulai langka, karena berseminya peran "false nine" alias "nomor 9 palsu" dan "inverted winger", atau pemain sayap yang menusuk ke dalam kotak penalti, sebelum akhirnya mencetak gol.
Kedua peran ini belakangan sama-sama menggeser peran "target man" dan "finisher". Salah satu contoh kombinasi dua peran ini yang cukup terkenal adalah trisula Firmino-Mane-Salah milik Liverpool.
Dari ketiganya, tak ada satupun yang merupakan "pemain nomor 9" tulen. Mane adalah sayap kiri berkaki kanan, Salah dikenal sebagai sayap kanan kidal, sementara Firmino biasa bertugas di belakang striker.
Ketiganya biasa menjadi trio andalan di lini depan Liverpool, dengan kombinasi peran sederhana. Firmino membuka ruang, sementara Salah dan Mane mengiris dari kedua sisi sayap dengan kecepatan tinggi.
Hasilnya?
Mane dan Salah sama-sama pernah menjadi menjadi top skor Liga Inggris dan pemain terbaik Afrika, meski bukan penyerang tengah. Pujian tetap datang, meski formasi andalan Liverpool ala Juergen Klopp termasuk formasi tanpa penyerang murni.