Kembali menjadi juara dua. Begitulah akhir perjalanan Timnas Indonesia di ajang Piala AFF 2020. Di partai puncak, Tim Garuda harus mengakui keunggulan Thailand, setelah kalah agregat 2-6.
Capaian sebagai finalis ini menjadi yang keenam kalinya, sepanjang sejarah keikutsertaan di Piala AFF. Sebuah rekor yang tentunya memperpanjang rasa penasaran publik sepak bola nasional.
Meski begitu, capaian ini terlihat menjanjikan. Maklum Evan Dimas dkk datang ke Singapura sebagai tim yang agak diremehkan lawan, karena didominasi pemain muda minim pengalaman di Timnas Indonesia senior.
Tim asuhan Shin Tae-yong ini juga baru terbentuk (secara efektif) selama setahun, sehubungan dengan vakumnya sepak bola nasional selama kurang lebih setahun, akibat imbas pandemi.
Karenanya, wajar jika PSSI kali ini tak memasang target muluk. Lolos ke semifinal saja sudah bagus. Berhubung ternyata lolos ke final, seharusnya itu adalah satu bonus, jadi bukan suatu kegagalan.
Meski tak membawa pulang trofi Piala AFF, Timnas Indonesia kali ini menawarkan prospek masa depan yang menarik. Terbukti, Pratama Arhan terpilih sebagai Pemain Muda Terbaik Piala AFF 2020, dan Timnas Indonesia mendapat penghargaan Fair Play.
Dari sini saja, sudah cukup terlihat, seberapa bagus hasil polesan Shin Tae-yong, meski secara efektif belum lama bertugas melatih Timnas Indonesia. Sebuah modal positif menuju Kualifikasi Piala Asia 2023, pada pertengahan tahun 2022.
Jika PSSI bisa berpikir waras, seharusnya posisi pelatih asal Korea Selatan itu aman, karena sudah menampilkan hasil kerja bagus, sekalipun dalam kondisi tidak ideal.
Dengan perkembangan yang belakangan terjadi di negara-negara Asia Tenggara, sudah bukan waktunya lagi PSSI bongkar pasang pelatih semaunya. Kecuali, kualitas sistem tata kelola sepak bola nasional sudah kelas dunia.
Ini penting, karena negara sekelas Kamboja saja sudah mulai berkembang, karena terus berproses di bawah komando Keisuke Honda, manajer tim yang juga eks pemain Timnas Jepang dan AC Milan.