Seiring lolosnya Timnas Indonesia ke final Piala AFF 2020, euforia, harapan dan kekhawatiran berpadu menjadi satu. Untuk dua hal yang disebut pertama, keduanya adalah hal biasa, karena ada kesempatan menjadi juara.
Tapi, untuk hal kedua, kekhawatiran ada pada aspek di dalam lapangan dan di luar lapangan hijau.
Di lapangan, sedikit kekhawatiran muncul, karena Timnas Indonesia sering kalah dari Thailand di Piala AFF, bahkan sejak masih bernama Piala Tiger.
Secara khusus, di laga final saja, kedua tim tiga kali bertemu, dan Thailand selalu keluar sebagai juara.
Catatan mengkhawatirkan ini menjadi satu titik ragu paling kelihatan, tapi selama bola itu masih bundar, seharusnya semua kemungkinan masih bisa terjadi di lapangan. Apalagi, final kali ini dihelat di tempat netral, yakni Singapura.
Masalah di lapangan, memang jadi satu perhatian khusus, karena lawan yang dihadapi cukup sering unggul secara hasil akhir. Meski begitu, ada satu masalah diluar lapangan, yang bisa menjadi bahaya laten, meski sebenarnya adalah satu penyakit lama di Indonesia.
Masalah itu bernama politisasi prestasi.
Sudah jadi rahasia umum di masyarakat kita, setiap kali ada tim atau atlet Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional, selalu saja muncul baliho-baliho atau iklan-iklan dari politisi partai, dengan ukuran foto lebih besar dari foto sang atlet yang juara.
Parahnya, para politisi oportunis ini justru memasang wajah keren, seolah mereka sudah hadir sejak awal perjuangan si atlet, sekalipun nyatanya tak seperti itu. Mereka malah sering hilang di saat paling sulit, bahkan tak pernah hadir, kecuali saat menang.
Meski pahit, fenomena politisasi ini sudah terlalu vulgar. Kita tentu masih ingat, bagaimana momen saat atlet-atlet Indonesia meraih medali di Olimpiade Tokyo, justru diwarnai dengan banyak foto politisi partai di berbagai tempat.