Sejak pulang dari ibukota, ada dua hal, yang sebenarnya sangat menggangu. Mereka adalah dikte dan sikap demonstratif. Sebenarnya ini bukan hal baru, tapi ketika mereka ada setiap hari, rasanya sungguh mengerikan.
Aku ingat, dulu dikte pernah berkata, "Berikanlah perpuluhan dari setiap pemasukanmu, dan jangan pelit."
Aku memilih tak menurut, karena Alkitab hanya berkata, "Tunaikanlah bila mampu."
Aku hanya seorang pekerja serabutan. Aku paham, dikte ingin mengajakku berbagi, tapi, bukan begitu caranya. Memberi dengan pamrih apalagi pamer hanya akan membawa masalah di kemudian hari.
Nyatanya, dia tak pernah mau tahu, dan selalu getol menyuruhku. Waktu pagebluk datang, ternyata dikte menjadi yang paling pertama lari terbirit-birit dan tiarap entah di mana.
Dalam kondisi biasa saja, aku sudah berkali-kali melihat, ada begitu banyak orang yang sampai berutang banyak, hanya demi menuruti ini. Saat mereka susah karena dijerat utang, si dikte ini justru menyalahkan.
Buat apa dituruti kalau ternyata cuma jadi begitu?
Pada akhirnya, dikte hanya terdiam membisu, karena realita dan pagebluk menceramahinya habis-habisan. Ia tak pernah lagi berbicara kepadaku untuk sementara.
Cukup sampai di situ?
Ternyata, dikte tak hilang akal. Ia lalu menggesernya ke topik lain. Tanpa malu-malu, ia memintaku untuk tidak pelit. Aku memilih untuk diam di awal, karena ada begitu banyak hal di luar kendali di sini.