Seiring menurunnya jumlah kasus baru COVID-19 di Indonesia, sejumlah pelonggaran, termasuk ibadah on-site di gereja, mulai diterapkan dalam kapasitas terbatas. Dengan mendaftarkan diri secara online, dan menampilkan keterangan sudah divaksin, jemaat bisa beribadah di gereja
Memang, masih ada gereja yang sedang menguji coba praktek ibadah ini, sambil berkoordinasi dengan pihak terkait. Mulai kembalinya aktivitas ibadah di gereja, bisa dibilang menjadi satu masa transisi, karena selama pandemi hanya dilakukan secara virtual.
Pada prosesnya, ada yang bersikukuh untuk melakukan ibadah on-site secara penuh seperti dulu, dan ada yang masih menggunakan media online. Tentu saja, setiap gereja punya kebijakan sendiri.
Tapi, sebagai seorang warga gereja, saya justru melihat, periode ini adalah sebuah transisi lainnya buat gereja, khususnya di Indonesia. Sebelumnya, transisi ini sempat terjadi, saat alat-alat pengeras suara dan proyektor digital mulai digunakan.
Belakangan, medium power point dan video (atau sejenisnya) semakin umum digunakan, sebagai alat bantu panduan liturgi ibadah, atau memvisualisasikan pesan dalam khotbah.
Awalnya, modernisasi ini tak sepenuhnya langsung diterima, tapi seiring berjalannya waktu dan manfaat yang dirasakan, pada akhirnya semua bisa menerima.
Proses yang sama, juga berlaku pada ibadah online. Hanya saja, proses penerimaannya akan terbalik. Terdengar aneh, tapi begitulah adanya.
Saya sebut demikian, karena ibadah online lewat platform streaming awalnya langsung diterima, tanpa ada protes. Maklum, pandemi sedang merajalela.
Saat situasi berangsur normal, dan ibadah on-site bisa kembali berjalan seperti biasa, mungkin medium online streaming akan dianggap sebagai sebentuk "sikap malas", karena membuat orang memilih bersikap praktis.
Memang, liturgi ibadah yang ada pada dasarnya didesain untuk ibadah on-site, bukan online streaming. Tapi, jika melihat perkembangan situasi selama pandemi, rasanya anggapan "penyebab sikap malas" ini perlu dilihat ulang.