Secara mobilitas, anggapan "malas" ini mungkin tak bisa dibantah kebenarannya. Sebagian orang tidak berangkat ke gereja, tapi memilih beribadah di rumah, dengan mengikuti siaran langsung dari gereja.
Jika beribadah adalah sebuah aktivitas yang hanya dilihat dari luar, mungkin ini jadi satu kemunduran. Masalahnya, berhubung ibadah adalah satu hal yang bersifat spiritual, sudut pandangnya harus lebih luas.
Dalam artian, kita perlu melihat sisi lain, yang mungkin selama ini terabaikan: keterjangkauan yang semakin luas. Disadari atau tidak, ibadah online streaming terbukti telah menjangkau lebih banyak orang dalam radius lebih luas, dalam waktu relatif singkat.
Apakah metode konvensional bisa seperti itu? Tanpa bermaksud meremehkan, sejarah sudah membuktikan, keterjangkauan luas semacam ini masih berupa mimpi di Indonesia.
Terbukti, izin membangun rumah ibadah atau gedung gereja masih sedemikian sulit dan butuh waktu sampai hitungan tahun. Saking lamanya, menunggu izin itu turun serasa menunggu Godot. Entah kapan datangnya, dan entah kenapa bisa begitu sejak lama.
Di area perkotaan, ini mendorong bermunculannya gereja-gereja di ruko, gedung, atau mall. Kalau sudah begini, memikirkan soal "menjangkau jiwa" yang tak terjangkau di luar sana jelas sangat muskil.
Jangankan bergerak ke luar, bergerak di dalam saja masih kesulitan. Jadi, bukan kejutan kalau gereja kekinian (terutama aliran kontemporer) cenderung memilih pendekatan pragmatis, dengan mencari orang yang sebenarnya sudah bergereja.
Dengan dampak yang sudah dihadirkan dari medium ibadah online streaming, seharusnya ini bisa menjadi satu berkat yang bisa dimanfaatkan oleh gereja secara lebih luas. Dengan demikian, kegiatan misi dalam menjangkau wilayah terpencil atau tertinggal bisa lebih dioptimalkan.
Media online streaming ini juga bisa menjangkau mereka, yang mungkin masih memilih bersikap hati-hati. Tak bisa dipungkiri, pandemi akan menciptakan perubahan gaya hidup, dan inilah yang harus dipersiapkan gereja, supaya tetap adaptif terhadap perkembangan zaman.
Dari masa ke masa, gereja sudah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Jika dulu aspek perubahan yang ada hanya berkaitan dengan sarana-prasarana ibadah, pada masa transisi dan pascapandemi, aspek itu akan ditambah dengan pergeseran budaya atau gaya hidup akibat imbas pandemi.
Mungkin ini terdengar tak biasa, tapi inilah satu "kemajuan" gereja yang didorong oleh keadaan. Jika mampu menyesuaikan diri dengan baik, ini akan jadi satu titik "lompatan ke kurva kedua" (meminjam istilah pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali).
Selebihnya, tinggal bagaimana semua proses yang ada dijalani sampai tuntas.