Masalahnya, harga produk ini kurang kompetitif dibanding tas kantong plastik "model klasik". Kalaupun ada yang kuat membeli secara rutin, mereka umumnya berasal dari sebagian masyarakat kalangan menengah atas, masyarakat kelas atas, atau korporasi.
Kelemahan ini muncul, karena kantong plastik berbahan singkong masih belum bisa diproduksi secara massal. Ini tidak seperti produksi kantong plastik biasa, yang memang sudah berskala massal sejak lama.
Dengan masih besarnya jumlah masyarakat (di Indonesia) yang belum benar-benar mapan kondisi ekonominya, sensitivitas mereka terhadap harga jelas sangat tinggi. Dalam kondisi normal saja, harga sudah jadi masalah, apalagi, di masa pandemi dan transisi seperti sekarang.
Para produsen kantong plastik "versi baru" ini boleh saja giat menggembar-gemborkan isu lingkungan hidup, untuk mempromosikan nilai tambah produk mereka. Tapi, mereka seharusnya sadar, di zaman sekarang, konsumen sudah sangat cerdas.
Mereka bisa memilih dan menilai langsung sebuah produk. Sebagus apapun "value"-nya, selama itu kurang bersahabat di kantong, sebuah produk akan kalah dengan produk substitusi berharga lebih terjangkau, dengan fungsi dasar yang sama.
Seharusnya, para produsen dan pelaku bisnis menyadari ini. Mereka memang bisa menghadirkan alternatif produk baru, tapi keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan konsumen, karena sekarang adalah era customer oriented.
Satu hal lain, yang membuat saya lebih memilih tas kain adalah, tas kantong plastik berbahan singkong ini masih mengandung unsur mikroplastik, yang juga terkandung dalam tas plastik model lama. Bedanya, tas jenis ini lebih mudah terurai secara fisik, karena merupakan plastik jenis oxium
Plastik jenis oxium tidak seperti plastik jenis "Low Density Polythylene" yang memang sulit terurai. Maklum,
plastik jenis "Low Density Polythylene" berasal dari hasil pengolahan minyak dan gas bumi, yang dimurnikan menjadi monomer dalam temperatur tinggi.
Monomer ini lalu diproses lagi menjadi polimer (bubur atau pellet plastik; elemen mikroplastik), sebelum akhirnya diolah menjadi plastik. Inilah alasan, mengapa sampah plastik punya dampak yang cukup merusak lingkungan. Dari pembuatannya saja sudah menghasilkan polusi dan limbah, apalagi di tahap setelah pemakaian.
Tapi, bukan berarti plastik jenis oxium  benar-benar lebih aman buat lingkungan, karena oxium sendiri pada dasarnya adalah jenis plastik. Plastik jenis oxium sendiri adalah plastik konvensional yang mengandung tambahan material katalis atau pemicu (biasanya berupa oksida logam besi, kobalt atau mangan).
Materi pemicu ini bertugas membantu proses fragmentasi, yang membuatnya cepat terurai. Jika ada paparan panas atau sinar ultraviolet, proses fragmentasi bisa berjalan lebih cepat