Sebagai gantinya, saya mencoba untuk memulai di awal, supaya bisa selesai sebelum deadline. Jika ternyata masih ada ide lain yang masih relevan, ide itu juga bisa dituangkan ke dalam tulisan.
Dengan demikian, saat hari deadline datang, seharusnya itu jadi satu momen istirahat nan melegakan, bukan momen  menyeramkan. Jika tata tertibnya benar-benar ditegakkan, detik-detik setelah deadline berlalu seharusnya jadi puncak kelegaan.
Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah lomba menulis artikel di Kompasiana, yang deadline-nya baru saja tuntas, Minggu (26/9) tengah malam WIB.
Berangkat dari ajakan beberapa senior untuk mencoba lagi, saya memutuskan untuk mencoba, setelah sebelumnya sempat meraih juara ketiga, pada satu lomba menulis artikel dengan topik dari bidang serupa.
Semua itu berhasil "mengompori" saya yang sebelumnya enggan. Pengalaman yang sudah-sudah jadi pertimbangan. Satu-satunya hal yang membuat saya senang (untuk saat ini) dari lomba itu hanyalah bisa memposting artikel berikut gambarnya dengan selamat.
Di sisi lain, lomba menulis artikel yang belakangan saya ikuti, pelan-pelan menjadi semacam "trauma healing" buat saya, khususnya dalam hal lomba dan bersua "deadliners". Mungkin, inilah jalan untuk mendetoksifikasi memori kurang mengenakkan tersebut.
Dalam sebuah kompetisi, deadliners mungkin bukan lawan yang menyenangkan. Tapi, mereka adalah satu alasan utama, mengapa ikut berpartisipasi tanpa adanya target muluk, justru jadi terasa menyenangkan.
Tak ada tekanan atau harapan terlalu besar, tapi ada ruang cukup untuk lebih berkembang. Dengan demikian, apapun hasil akhirnya, ada kemajuan lain yang bisa jadi sangat berharga ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H