Memang, manga yang jadi "never ending story akan diramaikan dengan beragam teori alur cerita atau "fanmade story" (doujinshi), tapi "jiwa" dan "rasa" nya sudah berbeda.
Salah-salah, bisa tersandung masalah hak cipta, terutama jika gaya ilustrasi dan ceritanya terlalu mirip dengan yang asli.
Kasus ini sempat terjadi di tahun 2006, saat komik "Doraemon Ending" viral di dunia maya. Karena dinilai melakukan plagiarisme, sang kreator harus membayar denda tak sedikit. Bukan untung malah buntung.
Padahal, membaca komik seharusnya adalah satu proses menikmati cerita, yang seharusnya menyenangkan. Soal selera dan memori, seharusnya takkan jadi masalah. Setiap orang punya selera dan memorinya masing-masing.
Awalnya, saya juga tak terlalu memikirkan masalah plot cerita, tapi seiring bertambahnya usia, hal ini semakin terasa. Hidup ini cuma sekali, terlalu mahal kalau hanya untuk diisi dengan rasa penasaran berkepanjangan, atas hal yang sebenarnya sudah tak bisa diapa-apakan.
Pada akhirnya, saya berterima kasih pada musang mekanik robot kucing bersuara rocker ini, karena darinyalah saya bisa sedikit menikmati dan memahami manga, sekaligus mengingat batasan yang tak boleh dilupakan soal manga. Tanpa robot penggemar dorayaki ini, saya mungkin takkan doyan membaca, apalagi mau menulis, seperti yang sedang Anda baca ini.
Â
Sebagai penutup, izinkan saya menampilkan video lagu "Doraemon No Uta". Selamat menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H