Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saat Kata "Semangat" Menjadi Toksik

29 Juli 2021   17:46 Diperbarui: 29 Juli 2021   17:53 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Semangat (Kompas.com)

Semangat.

Satu kata ini mungkin terdengar klise. Bisa melecut semangat yang sedang turun. Tapi, itu hanya pandangan sekilas.

Penyebabnya, satu kata ini bisa mengurangi, bahkan menghilangkan semangat seseorang, yang sebenarnya sudah cukup bersemangat. Alih-alih berdampak positif, kata "semangat" justru menjadi toksik.

Sebagai seorang penyandang disabilitas, satu kata ini kadang sangat saya benci, terutama jika terlalu sering dikatakan, karena menganggap nihil semangat yang sebenarnya sudah ada.

Entah kenapa, sebagian orang masih salah kaprah, karena menganggap semangat dan antusiasme itu sama. Padahal, antusiasme hanya bersifat temporer alias jangka pendek, sementara semangat bersifat jangka panjang.

Sebagai contoh, orang yang punya antusiasme dalam menulis akan lebih cepat bosan ketimbang yang punya semangat. Di awal, mereka yang terlihat antusias akan terlihat menggebu-gebu, tapi langsung hilang minat, segera setelah mendapat hadiah, atau gagal mendapat hadiah.

Sementara itu, mereka yang bersemangat kadang tak terlihat antusias, tapi punya konsistensi. Tak peduli dapat hadiah atau tidak, pokoknya jalan terus.

Istimewanya, jenis semangat seperti ini mampu menular, dan lebih menguatkan. Dampak dan sifatnya pun lebih awet, bahkan cenderung progresif, karena didasari oleh kesadaran untuk berproses di berbagai aspek.

Tak seperti antusiasme yang "sekali berarti, sudah itu mati", semangat bukan hanya untuk dilihat, karena ia kadang tak selalu bisa dilihat, tapi selalu bisa dirasakan.

Jadi, menyamakan semangat dengan antusiasme, justru akan membuat semangat itu menjadi toksik. Penyebabnya, ia hanya dinilai dari apa yang dilihat dari luar, bukan yang dirasakan dari dalam.

Saya sendiri pernah merasakan betapa merusaknya efek "semangat" yang toksik ini. Saking kacaunya, saya sampai harus berkonsultasi dengan psikolog, untuk mengevaluasi keadaan, dan mengambil langkah selanjutnya.

Waktu itu, masalah ini datang, bersamaan dengan seabrek masalah lain di berbagai sisi. Di sisi lain, saya juga melihat sekilas masalah ini, saat mengikuti program pelatihan magang jangka pendek di sebuah komunitas disabilitas.

Sebuah "culture shock" buat saya, karena semasa sekolah dan kuliah dulu, meski menjadi "minoritas" secara kondisi fisik, saya justru dibiarkan berproses, sama seperti yang lain.

Kalaupun ada kata pelecut yang terucap, kata itu bukan "semangat", tapi "tetap semangat". Sederhana, tapi menguatkan.

Meski pelatihan itu diselenggarakan secara virtual, satu hal yang saat itu agak mengganggu adalah terlalu seringnya kata "semangat" diucapkan. Itu memang akan menghasilkan antusiasme, yang jelas-jelas tidak bertahan lama, tidak berkelanjutan.

Ini jelas merupakan satu hal toksik, karena memberi kesan, semangat adalah sesuatu yang sifatnya jangka pendek, selesai program, bubar jalan.

Ironisnya, ini mirip dengan sifat pemberdayaan disabilitas: tidak berkelanjutan.

Alhasil, mendapat kesempatan kerja temporer menjadi sulit, dan lebih sulit lagi pada pekerjaan tetap atau wirausaha, karena masih kuatnya pola pikir diskriminatif.

Dalam keadaan normal saja, semua serba sulit, apalagi saat pandemi.
Selama "semangat" yang ditularkan hanya dipahami sebatas sebagai antusiasme, ini hanya sebentuk "toxic positivity".

Ia membangun satu semangat instan yang mudah runtuh hanya karena satu masalah. Sekali runtuh, itu akan sangat merusak dalam jangka panjang. Sangat mengenaskan. Satu kerusakan fatal bisa tercipta, hanya karena salah kaprah.

Menariknya, ini membuktikan, semangat memang tidak sesederhana kelihatannya, tapi ia bisa menular seperti virus, tanpa harus digembar-gemborkan lewat kata-kata khas motivator.

Setiap orang sebenarnya punya semangat dalam dirinya. Tinggal bagaimana itu ditemukan dan dijaga dengan baik, supaya bisa dibagikan, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun