Semangat.
Satu kata ini mungkin terdengar klise. Bisa melecut semangat yang sedang turun. Tapi, itu hanya pandangan sekilas.
Penyebabnya, satu kata ini bisa mengurangi, bahkan menghilangkan semangat seseorang, yang sebenarnya sudah cukup bersemangat. Alih-alih berdampak positif, kata "semangat" justru menjadi toksik.
Sebagai seorang penyandang disabilitas, satu kata ini kadang sangat saya benci, terutama jika terlalu sering dikatakan, karena menganggap nihil semangat yang sebenarnya sudah ada.
Entah kenapa, sebagian orang masih salah kaprah, karena menganggap semangat dan antusiasme itu sama. Padahal, antusiasme hanya bersifat temporer alias jangka pendek, sementara semangat bersifat jangka panjang.
Sebagai contoh, orang yang punya antusiasme dalam menulis akan lebih cepat bosan ketimbang yang punya semangat. Di awal, mereka yang terlihat antusias akan terlihat menggebu-gebu, tapi langsung hilang minat, segera setelah mendapat hadiah, atau gagal mendapat hadiah.
Sementara itu, mereka yang bersemangat kadang tak terlihat antusias, tapi punya konsistensi. Tak peduli dapat hadiah atau tidak, pokoknya jalan terus.
Istimewanya, jenis semangat seperti ini mampu menular, dan lebih menguatkan. Dampak dan sifatnya pun lebih awet, bahkan cenderung progresif, karena didasari oleh kesadaran untuk berproses di berbagai aspek.
Tak seperti antusiasme yang "sekali berarti, sudah itu mati", semangat bukan hanya untuk dilihat, karena ia kadang tak selalu bisa dilihat, tapi selalu bisa dirasakan.
Jadi, menyamakan semangat dengan antusiasme, justru akan membuat semangat itu menjadi toksik. Penyebabnya, ia hanya dinilai dari apa yang dilihat dari luar, bukan yang dirasakan dari dalam.