Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rasa Unik Webinar Maraton

4 Juli 2021   01:24 Diperbarui: 4 Juli 2021   20:12 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Dewa Budjana (Dok. K-Jog)

Sejak pandemi Corona mulai merebak, webinar menjadi satu sarana interaksi dan edukasi yang jamak digunakan. Satu hal yang membuatnya unik adalah, semua bisa dilakukan dari rumah, hanya dengan modal koneksi internet, sekalipun webinar tersebut berdurasi maraton, dan berskala internasional.

Kebetulan, pada Kamis (24/6) lalu saya berkesempatan mengikuti webinar maraton bertajuk "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik". 

Webinar ini merupakan satu rangkaian kegiatan dari event Konferensi Internasional Sound of Borobudur, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam wadah program "Wonderful Indonesia", bekerja sama dengan Yayasan Padma Sada Svargantara, selaku inisiator Sound of Borobudur Movement, dan Kompas Group.

Webinar ini saya sebut maraton, karena berlangsung sejak pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore, yang dibagi dalam dua sesi, dengan selingan waktu jeda antarsesi selama satu jam. 

Sesi pertama bertajuk "Merangkai kembali keterhubungan antarbangsa melalui alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur", sementara sesi kedua bertajuk "Membangun sound destination sebagai destinasi baru, mengimplementasikan Borobudur sebagai sebuah warisan yang harus dikerjakan".

Di sisi lain, skala internasional di webinar kali ini terlihat, bukan hanya dari segi peserta, tapi juga pengisi acara. Dari dalam negeri, selain menghadirkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hadir juga musisi nasional sekaliber Purwa Caraka, Dewa Budjana, Trie Utami, dan Addie MS, yang turut didukung oleh banyak musisi dari pelosok negeri, antara lain Ivan Nestorman dari Flores, Nusa Tenggara Timur.

Addie MS (Kanan) dan Trie Utami (Kedua dari kiri). Dok. K-JOG
Addie MS (Kanan) dan Trie Utami (Kedua dari kiri). Dok. K-JOG
Dari luar negeri, hadir Tantowi Yahya, Duta Besar Indonesia Luar Biasa Berkuasa Penuh untuk Selandia Baru, Samoa, Tonga, Cook Islands, dan Niue serta Duta Besar Keliling untuk Wilayah Pasifik. Eks presenter ini hadir memberikan paparan mengenai potensi musik sebagai sarana diplomasi budaya dan alat komunikasi antarbangsa.

Sejak mulai bertugas sebagai dubes tahun 2017, Tantowi Yahya memang menjadikan musik sebagai salah satu program rutin, sekaligus sarana diplomasi. Kebetulan, ada kemiripan budaya antara negara-negara Pasifik dan Indonesia (khususnya Indonesia bagian timur), antara lain dalam hal bahasa dan etnomusikologi.

Diplomasi lewat musik dinilai efektif karena musik bersifat universal, sehingga dapat memperkuat rasa kebersamaan dan kolaborasi. Di negara maju, musik bahkan turut digunakan sebagai elemen dalam kurikulum pendidikan karakter.

Paparan ini menjadi contoh terapan, yang sekaligus mendukung paparan ilmiah Profesor Emerita Margaret Kartomi, AM. FAHA. Dr. Phil (Guru Besar di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance, Monash University), tentang peran aspek etnomusikologi sebagai penunjuk jejak sejarah hubungan antarbangsa di masa lalu melalui musik, khususnya terkait dengan relief alat musik di candi Borobudur.

Seperti diketahui, di Candi Borobudur terdapat 226 relief alat musik yang terpahat pada 40 panel relief, dengan menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik. Tipe penggunaan alat musik di relief Borobudur terdiri dari: petik, pukul, tiup, tarik, dan pusing, atau putar.

Temuan ini menunjukkan, jejak sejarah hubungan itu sudah ada di Indonesia sejak lebih dari 1000 tahun lalu. Relief Candi Borobudur juga merekam beragam bentuk kebudayaan lokal Nusantara, yang secara langsung menekankan kebhinekaan. Temuan inilah yang menginspirasi program "Sound of Borobudur", dan menjadi pokok bahasan sesi pertama webinar.

Momen Webinar (Dokpri)
Momen Webinar (Dokpri)
Secara garis besar, sesi pertama webinar menjadi pengantar menuju sesi kedua, karena kita diajak untuk mengetahui latar belakang penyelenggaraan program "Sound of Borobudur", lengkap dengan paparan kajian ilmiah dan contoh aplikasinya. 

Boleh dibilang "Sound of Borobudur" sama sekali bukan program pariwisata asal-asalan, karena berasal dari temuan sejarah, yang memang sudah dikaji secara mendalam oleh para ahli. 

Pertanyaannya, konsep pariwisata apakah yang sebaiknya diterapkan?

Jawaban dari pertanyaan ini hadir di sesi kedua webinar. Kali ini Prof. Dr. M. Baiquni, M.A, pakar geografi pembangunan, pendiri Sustainable Tourism Action Research Society, Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf RI Dr. Muhammad Amin S.Sn, M.Sn MA, serta perwakilan dari UNESCO dan Visit Indonesia Tourism Officer (VITO) hadir sebagai pembicara.

Secara khusus, Moe Chiba, perwakilan dari UNESCO Jakarta, yang hadir secara daring menyebut, Borobudur, dalam posisinya sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO, bisa digarap menjadi satu aset wisata, dengan menerapkan konsep "Sustainable Tourism". 

"Sustainable Tourism" sendiri merupakan konsep pariwisata yang bertujuan mengedukasi masyarakat tentang nilai sejarah dan budaya situs, sekaligus membantu upaya pelestarian situs sejarah, dan memberdayakan masyarakat, khususnya di sekitar situs, sehingga bisa hidup lebih sejahtera.

Aksi Dewa Budjana (Dok. K-Jog)
Aksi Dewa Budjana (Dok. K-Jog)
Masukan ini sejalan dengan temuan sejarah di relief Candi Borobudur. Di situ, ada proses interaksi budaya yang terjadi di Borobudur. Pada masanya, Candi Borobudur merupakan salah satu pusat seni budaya dan keagamaan internasional. Dalam kaitannya dengan program "Sound of Borobudur", bisa dibilang Candi Borobudur merupakan satu pusat musik dunia pada masanya. 

Dari temuan inilah, tercipta tagline "Borobudur Pusat Musik Dunia". Dalam konteks kekinian, temuan tersebut bisa direinterpretasi sebagai satu aset bangsa yang membanggakan, karena menyatakan keluhuran budaya bangsa, dan menjadi satu aset kebudayaan dunia dari Indonesia.

Sayang, potensi ini belum sepenuhnya digarap, dan baru mulai diseriusi pemerintah belakangan ini, lewat penyelenggaraan program "Sound of Borobudur", dan penetapan Borobudur sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas. Sebagai informasi, terdapat lima obyek wisata di Indonesia yang menjadi Destinasi Super Prioritas. Selain Borobudur, ada Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.

Hanya saja, berhubung saat ini pandemi Corona masih belum reda, dan grafik kasusnya belakangan sedang tinggi di Indonesia, agaknya pemerintah perlu menggarap potensi wisata virtual. Dengan demikian, sektor pariwisata yang sedang lesu bisa tetap hidup, tanpa harus khawatir dengan risiko penularan virus Corona. Jika situasi sudah aman terkendali, promosi kunjungan wisata secara fisik boleh digalakkan.

Bagi saya pribadi, webinar ini sungguh bergizi, karena jauh dari kesan monoton. Sambutan panjang lebar para pembicara di awal acara, plus paparan ilmiah dari para ahli, ikut diimbangi dengan "insight" berharga dari para praktisi. Webinar ini semakin lengkap, dengan sajian musik akustik yang sungguh sedap dari para musisi handal.

Dari segi bahasa, webinar yang diikuti peserta dari berbagai negara ini cukup unik, karena selain memakai bahasa Indonesia, pembicara di webinar ini juga memakai bahasa Inggris. Otomatis, perlu sedikit persiapan supaya tidak kaget. 

Beruntung, webinar ini terselenggara saat Euro 2020 dan Copa America 2021 berlangsung. Jadi, saat menonton pertandingan, saya bisa memanfaatkan ocehan sang komentator sebagai persiapan sebelum webinar. Syukurlah, semua berjalan lancar.

Satu hal yang membuat saya terkesan, kebhinekaan menjadi satu pesan yang konsisten disuarakan dalam sajian musik di webinar ini. Tidak ada sekat kedaerahan, semuanya berpadu menjadi satu kesatuan yang indah, seperti pada saat lagu "Indonesia Pusaka" dipentaskan di awal webinar.

Pemandangan ini menjadi satu oase di tengah makin tajamnya polarisasi di masyarakat. Perbedaan yang sejatinya menjadi pembangun keberagaman, justru menjadi pemisah, karena keberagaman jadi ternihilkan. Padahal, pahatan relief di Candi Borobudur menunjukkan, keberagaman (salah satunya lewat musik) sudah jadi identitas bangsa ini sejak lama.

Uniknya, dari alat musiklah contoh nyata keberagaman yang dinamis bisa terwujud secara harmonis dalam alunan nada merdu, tidak asal bunyi. Perbedaan bisa menihilkan keberagaman, karena adanya polarisasi yang semakin tajam, tapi perbedaan jenis alat musik adalah aset dan sumber harmoni yang terangkai indah dalam sebuah orkestra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun