Belakangan ini, sepak bola nasional mendapat sorotan, setelah beberapa selebritas mengakuisisi saham klub lokal. Ada Kaesang Pangarep (di Persis Solo), Raffi Ahmad (RANS Cilegon FC), Gading Marten (Persikota Tangerang), dan Atta Halilintar (AHHA PS Pati FC, sebelumnya Putra Sinar Giri Pati alias PSG Pati). Berangkat dari latar belakang mereka, maka keempat klub ini layak disebut sebagai "klub bola artis".
Masuknya para pesohor ini memang jadi angin segar, karena mereka populer, dan punya modal besar secara finansial. Tentunya, ini bisa membantu klub mendapat banyak sponsor, menarik pemain bagus untuk datang, dan meningkatkan eksposur di media.
Tapi, jujur saja, masih ada sedikit kekhawatiran akan kesinambungan klub, meski para pesohor ini punya partner pebisnis tulen, yang memang sudah berpengalaman di bidangnya.
Pada masa lalu, praktek ini sudah lebih dulu dilakukan oleh pejabat daerah. Kita tentu masih ingat, ada begitu banyak klub yang disokong dana oleh pemerintah daerah, dengan nominal mencapai angka puluhan miliar rupiah tiap musimnya.
Sumber dananya kebanyakan berasal dari APBD, yang memang dialokasikan pemerintah daerah setempat. Tak heran, banyak klub yang pada satu waktu bisa jor-joran belanja pemain baru atau bongkar pasang tim dengan enaknya.
Meski terlihat baik, ini justru memasung kemandirian klub dalam mencari dana. Lebih mirisnya lagi, sokongan dana ini sering terbukti tak gratis. Klub dan prestasinya di lapangan kerap jadi "alat kampanye" pejabat, khususnya di gelaran Pilkada.
Mereka seperti sudah tahu betul, sepak bola adalah satu medium paling sederhana, untuk menarik atensi massa dengan mudah. Jadi, jangan kaget jika kita kadang melihat spanduk kampanye partai politik, atau foto pejabat daerah di dalam stadion.
Karenanya, sebuah klub bisa mendadak miskin, saat ada pergantian pejabat daerah, khususnya jika si pejabat daerah yang baru itu bukan sosok gila bola. Sebagai contoh Persiba Bantul yang sempat bermain di kasta tertinggi, terus menurun sejak ditinggal Idham Samawi (eks Bupati Bantul) yang tak lagi menjadi Bupati Bantul sekaligus pembina klub.
Tapi, sejak dimulainya era Liga Super, tren ini sempat menghilang, sebelum akhirnya kembali muncul dengan cara sedikit lebih profesional, yakni menggunakan BUMD sebagai saluran dana ke klub, dalam kapasitasnya sebagai sponsor resmi klub.
Dalam prosesnya kedua metode tersebut rata-rata hanya menghasilkan satu siklus sukses yang relatif singkat. Selebihnya, kesulitan banyak ditemui, termasuk masalah tunggakan gaji pemain.
Kecuali, jika klub tersebut punya akademi bagus dan tak banyak merombak total tim seperti Persipura Jayapura, atau punya manajemen klub yang sudah oke seperti Bali United dan Persib Bandung.