Bayang-bayang antiklimaks. Inilah yang sedang menghantui Chelsea belakangan ini. Situasi ini muncul seiring dua kekalahan beruntun atas Arsenal dan Leicester City dengan skor identik 0-1.
Dua kekalahan di ajang Liga Inggris dan final Piala FA ini hadir, setelah optimisme muncul, seiring perbaikan performa tim, dan laju mulus tim ke dua laga final, yakni Piala FA dan Liga Champions, dengan mendepak Real Madrid pada prosesnya.
Di Liga Inggris, Si Biru sukses menapak posisi empat besar, setelah sebelumnya sempat tersesat di papan tengah klasemen. Sebuah progresi menjanjikan, mengingat mereka belum lama dilatih Thomas Tuchel.
Pada awalnya, semua terlihat mudah. Mereka bahkan mampu mengalahkan Manchester City, yang akan jadi lawan di final Liga Champions.
Bersama eks pelatih PSG, The Roman Emperor juga berhasil menembus final Piala FA. Situasi ini membuat banyak orang, khususnya fans Chelsea, seolah terjebak nostalgia, tepatnya pada musim 2011/2012, saat Roberto Di Matteo menjadi pelatih menggantikan Andre Villas-Boas.
Kala itu, situasinya cukup mirip. Klub berganti pelatih di pertengahan musim, tapi mampu meraih Piala FA dan Liga Champions, meski gagal finis di posisi empat besar liga di akhir musim.
Kebetulan, tim Chelsea saat itu punya penyerang berharga mahal tapi melempem, yakni Fernando Torres, seperti halnya Timo Werner di tim saat ini. Pemain lain, seperti Mason Mount (gelandang) juga belum lama bermain di level tertinggi.
Keduanya sama-sama sukses membuat gol di babak semifinal Liga Champions, tapi Werner tak didukung penyerang lain yang bisa diandalkan mencetak gol di laga krusial, seperti halnya Didier Drogba yang biasa menjadi andalan tim saat Torres mati kutu.
Alhasil, saat mulai memasuki fase krusial berikutnya, Chelsea seperti kehilangan arah. Mereka seperti lupa caranya menang saat harus menang, dan bermain efektif.
Terbukti, dalam dua laga melawan Arsenal dan Leicester, Timo Werner dkk benar-benar buntu. Benar, mereka gagal membuat gol, meski sebenarnya mendominasi jalannya pertandingan.
Akibatnya, satu trofi melayang, dan posisi empat besar dalam bahaya. Andai Manchester City nantinya menang di final Liga Champions, impresi positif yang sejauh ini sudah dihadirkan Tuchel bisa berubah menjadi satu cerita horor.