Jadi, agak aneh jika mereka justru mengorbankan orang-orang yang posisinya lebih rentan, karena itu justru akan menambah masalah.
Hebatnya, alasan "imbas pandemi" juga bisa membuat para atasan ini memperlakukan bawahan seperti kain pel: tekanan kerja terus naik, selagi gaji malah turun. Sebaliknya, para atasan bisa tetap santai seperti biasa.
Padahal, sebagai pimpinan, tekanan terbesar justru ada di tangan mereka. Sebagai nahkoda, seharusnya mereka mengarahkan bawahan dan tim, bukan malah menghilang dan menambah masalah, dengan berlindung di balik alasan "imbas pandemi".
"Imbas pandemi" memang belakangan seperti menjadi mantra sakti yang menjengkelkan, karena ternyata ada yang membuatnya jadi alasan, untuk bertindak tidak adil, dengan memanfaatkan hirarki jabatan.
Meski begitu, fenomena ini menunjukkan satu sisi positif pandemi, yakni ia akan memperlihatkan dengan gamblang, mana saja pelaku bisnis yang tidak bermoral, sekaligus "do" dan "don't" bagi pebisnis di masa pandemi.
Semua sektor memang terdampak pandemi, tapi bukan berarti "imbas pandemi" boleh dijadikan pembenaran atas tindakan tak bermoral. Sebaliknya, imbas pandemi seharusnya bisa memicu naluri survival manusia, untuk tetap berdaya, bahkan semakin berkembang, bukan menjadi kerdil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H